NUSANEWS, JAKARTA - Analis ekonomi politik Abdulrachim Kresno mempertanyakan sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang terus menumpuk banyak utang untuk menggenjot perekonomian nasional. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi justru tak terlalu tinggi.
Untuk itu, kata dia, pemerintah diminta melakukan debt swap atau menukar utang dengan program-program lainnya. Sehingga tak membebani pemerintah.
“Selama ini, pemerintah menumpuk utang untuk membangun infrastruktur. Tapi, apakah pembangunan infrastruktur benar-benar merupakan prioritas utama belanja pemerintahan Jokowi? Kami ragu. Karena setelah dilakukan ranking terhadap besaran belanja APBN, ternyata faktanya tidak demikian,” jelas Abdulrachim dalam keterangan yang diterima, Jumat (21/7).
Dalam APBN tahun 2017, kata dia, ternyata ranking pertama belanja ditempati oleh pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang, yang bila dijumlahkan mencapai Rp486 triliun. Sementara, ranking kedua ditempati oleh belanja pendidikan sebesar Rp 416 triliun.
“Sedangkan belanja infrastruktur sendiri malah berada di ranking ketiga, sebesar Rp 387,3 triliun,” jelas dia.
Artinya, kata dia, APBN sebenarnya masih didesain untuk memprioritaskan pembayaran utang, bukan untuk pembangunan infrastruktur. “Sehingga menjadi terlihat, kepada siapa sebenarnya keberpihakan si pendesain APBN,” ujar dia.
Dia menegaskan, dirinya bukannya menolak pemerintah berutang untuk membiayai pembangunan. Namun, sejarah membuktikan seringkali utang dipergunakan secara kurang efisien untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Dia menyebut, pada saar Rezim otoriter Suharto memerlukan utang USD 48,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata positif 6% selama 32 tahun. Pemerintahan Habibie memerlukan USD 19,6 miliar untuk mengangkat perekonomian dari minus 9% ke minus 4,5%.
Pemerintahan Gus Dur mampu mengurangi utang USD 4,15 miliar untuk mengangkat perekonomian dari minus 4,5% ke positif 4%.
Kemudian, pemerintahan Megawati memerlukan utang USD 64,39 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% selama 3 tahun. Dan pemerintahan SBY memerlukan USD 158,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% hingga 6% selama 10 tahun.
“Dan terakhir, pemerintahan Jokowi memerlukan USD 32,1 miliar juga hanya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran kurang dari 5% selama kurang 3 tahun ini,” jelasnya.
Artinya, berdasarkan uraian barusan, jelas contoh yang terbaik terjadi pada era Presiden Gus Dur. Karena saat itu pertumbuhan ekonomi dapat terpacu, tetapi utang pemerintah malah berkurang.
” Ternyata pernah ada masanya Indonesia membangun tanpa menambah utang, bahkan menguranginya,” jelasnya.
Di era tersebut, pengelolaan sebagian utang dilakukan dengan teknik debt swap dan restrukturisasi yang dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli.
Dengan teknik debt swapt, pemerintah Indonesia saat itu mendapatkan pengurangan utang dari Eropa setelah berkomitmen untuk melakukan konservasi hutan di Indonesia.
“Hal ini dapat saja kembali dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang, mengingat para politisi Eropa juga sedang giat-giatnya berkampanye pelestarian lingkungan hidup,” kata dia.
Bahkan, dengan teknik restrukturisasi utang, pemerintah Indonesia saat itu mendapatkan hadiah dibangunnya Jembatan Pasopati di Bandung dari pemerintah Kuwait secara cuma-cuma. Kondisi seperti itu seharusnya dapat dilakukan di era pemerintahan sekarang. (akt)