
NUSANEWS, JAKARTA - Puluhan Massa yang menamakan diri Komite Aksi Masyarakat Penegak Akuntabilitas KPK (Kampak) menggelar aksi di depan Gedung KPK mendesak pengusutan kasus korupsi kelas kakap mulai dari reklamasi, Rumah Sakit Sumber Waras, Pelindo II, BLBI, dan Century.
"Bila diamati sejak kelahiran KPK, ada yang salah dalam strategi pemberantasan korupsi di Indonesia. Buktinya bila dicermati, banyak kasus-kasus besar yang tidak mendapatkan perhatian serius dari KPK, misalnya, kasus BLBI (Rp144,5 triliun), Century (Rp7,4 triliun), Sumber Waras (Rp191 miliar), Pelindo II (Rp4,08 triliun), dan reklamasi Teluk Jakarta (Rp661,3 triliun)," ujar koordinator aksi, Yonpi Saputra di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (31/07/2017).
Memang ada beberapa kasus besar yang ditangani oleh KPK, namun menurut Yonpi, jumlahnya sangat tidak sebanding dengan banyaknya kasus kelas teri yang saat ini sedang ditangani oleh KPK melalui strategi operasi tangkap tangan (OTT) seperti Bengkulu Rp10 juta, BPK dan Kemendes Rp40 juta dan Irman Gusman Rp100 juta.
"Semestinya KPK bergerak berlandaskan pada Audit Investigatif BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), sehingga bisa membongkar kasus-kasus big fish, tidak seperti sekarang yang lebih mengandalkan OTT, kasus-kasus receh hanya demi mengejar popularitas di media saja," ujarnya.
Menurutnya, dengan mengandalkan OTT dan kurang menanggapi laporan dari BPK, KPK hanya akan mampu menjerat kasus-kasus kelas teri.
"Strategi yang salah tersebut telah menjerumuskan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia makin merosot tajam. Pada tahun 2000, IPK Indonesia di peringkat 85. Tahun 2002, KPK lahir, Indonesia di posisi 96 lalu merosot ke posisi 122 pada tahun 2003, tahun 2007 di posisi 143, tahun 2012 di posisi 118, tahun 2013 di posisi 114 dan tahun 2014 di posisi 107," ujarnya.
"Bisa disimpulkan bahwa kelahiran KPK belum bisa memberantas korupsi di Indonesia dan bahkan yang terlihat korupsi makin subur dibuktikan oleh IPK yang terus bertegger di atas 100," tambahnya.
Selain itu, Yonpi juga menilai semenjak kelahirannya, KPK sudah distigmakan sebagai lembaga yang suci sehingga dianggap tidak akan berbuat kesalahan.
"Setiap kritik yang dilontarkan kepada KPK selalu disimpulkan sebagai upaya serangan balik dari para koruptor. Padahal KPK adalah lembaga negara yang dalam operasionalnya menggunakan uang rakyat, sehingga wajar jika publik ingin berkonstribusi dalam perbaikan pemberantasan korupsi di Indonesia, diantaranya dengan selalu mengkritik kinerja KPK," ujarnya.
Lebih dari itu, Yonpi juga mengatakan kinerja KPK kini sangat menyedihkan lantaran KPK sudah dibekali perangkat yang sangat lengkap baik dari UU maupun besaran anggaran tetapi hasilnya jauh dari harapan.
"Dari segi UU misalnya KPK bisa leluasa menyadap dan menangkap tanpa perlu lagi minta izin presiden. Dan segi anggaran, tiap tahun KPK menghabiskan anggaran sebesar Rp1 triliun. Angka lebih besar bila dibandingkan dengan asset recovery yang disetorkan oleh KPK hanya Rp700 miliar," ujarnya.
"Sebagai lembaga ad hoc yang sudah berusia 15 tahun, KPK telah gagal fokus sehingga deterrent effect (efek jera) tidak tercapai salah satunya tidak ada shock theraphy terhadap jumbo korupsi," tegasnya.
Menyikapi hal tersebut, Kampak pun meminta kepada KPK untuk Tidak tebang pilih dalam menindak kasus korupsi.
"Dan segera mengusut kasus-kasus yang dipeti-eskan oleh KPK seperti kasus RS Sumber Waras, BLBI, Century, reklamasi Teluk Jakarta," ujarnya.
Selain itu, Kampak juga meminta KPK untuk tidak anti-kritik terhadap masyarakat.
"Membuka diri terhadap kritik publik termasuk akomodatif terhadap Pansus DPR karena DPR adalah wakil rakyat yang memiliki hak pengawasan terhadap kinerja lembaga negara yang telah menggunakan uang rakyat," pungkasnya. (rn)