
NUSANEWS - Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP di Bali akhir pekan lalu menghasilkan petunjuk, yang menyingkap rencana partai kepala banteng moncong putih di Pilpres 2019. Setelah resmi menetapkan Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi capresnya, pertanyaan besar publik saat ini adalah siapa pendamping Jokowi menjadi cawapres?
Petunjuk yang saya maksud pada awal tulisan ini adalah ternyata PDIP masih menginginkan Jusuf Kalla (JK) bisa menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres 2019. Itu setelah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto seusai pengumuman Jokowi sebagai capres, tak canggung menyatakan, bahwa partainya masih ingin melanjutkan kerja sama dengan JK.
Dalam bahasa Puan Maharani, PDIP ikut mengkaji JK menjadi salah satu calon pendamping Jokowi. Namun, Puan menyampaikan, hingga kini PDIP juga belum pernah menanyakan kesediaan Jusuf Kalla terkait menjadi bakal cawapres 2019, mengingat terdapat aturan perundang-undangan yang membatasi jabatan. Paling tegas adalah Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira, yang terang-terangan mengakui, intrernal PDIP masih berharap duet Jokowi-JK tetap berlanjut.
Mengapa PDIP masih menginginkan JK, pada saat tersedia banyak bakal cawapres potensial yang bisa digandeng Jokowi? Ditambah, para ketua umum parpol pendukung Jokowi sudah tak malu-malu lagi dan bahkan mulai ‘PDKT’ ke Jokowi. Sebut saja ketum PKB Muhaimin Iskandar, ketum PPP Romahurmuziy, dan ketum Hanura Wiranto. Nama terakhir, meski menegaskan akan tetap fokus menjabat menko polhukam tapi parpolnya kukuh menginginkan Wiranto menjadi cawapres Jokowi.
Selain para ketum parpol pendukung, beragam survei memunculkan nama seperti Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies Baswedan, hingga Khofifah Indar Parawansa dengan elektabilitas tertinggi menjadi cawapres. Namun salah satu lembaga survei, Poltracking menyebut, jika nama Jusuf Kalla dimasukkan dalam survei bakal cawapres. JK lah figur paling kuat dibanding nama-nama yang telah disebutkan di atas.
Pada Pilpres 2014 lalu, JK terbukti memberikan jaminan perolehan suara signifikan dari kawasan Indonesia Timur. Dan yang terpenting bagi Jokowi, Kalla bisa memberikan stabilitas pemerintahan. JK yang pada 2019 nanti berusia 77 tahun, tampaknya tidak mungkin akan bermanuver di tengah jalan masa pemerintahan demi peluang menjadi capres pada 2024. Analisis Poltracking itu mungkin jawaban atas pertanyaan ‘mengapa PDIP masih menginginkan JK?’
Jawaban lain atas pertanyaan di atas adalah, PDIP tentunya lebih memilih memberikan kursi cawapres kepada kadernya sendiri jika tidak untuk JK. Masalahnya, kader PDIP sejauh ini tidak ada yang masuk dalam bursa survei alias elektabilitasnya masih rendah. Jika kursi cawapres diberikan kepada nama-nama yang selama ini bagus rating-nya di survei, itu sama saja memberikan 'batu loncatan' kepada mereka menjadi capres masa depan.
Meski bisa dibilang sudah sepuh, tapi secara fisik, JK sejauh ini terbilang prima merespons jadwal padat sebagai wapres. Ia pun tidak secara tegas menolak atau juga mengiyakan kode atau sinyal pilpres dari PDIP untuk dirinya. JK mengaku berterima kasih kepada pihak yang masih mengusulkan dirinya menjadi cawapres dan meminta ada kajian terhadap aturan syarat pencalonan dalam pilpres.
Aturan syarat pencalonan dalam pilpres yang diminta JK untuk dikaji itulah yang membuat PDIP tengah galau. Pada Pasal 7 UUD 1945 disebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Kegalauan PDIP itu dipertegas oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, yang pekan ini menyebut Pasal 7 UUD 1945 multitafsir. Menurut Tjahjo, bunyi Pasal 7 UUD 1945 tersebut multitafsir karena mengandung pengertian seseorang yang pernah menjabat dua kali, apakah berturut-turut atau tidak, diperbolehkan maju kembali di jabatan yang sama. JK hampir dua periode menjadi wapres, tapi tidak berturut (2004-2009 dan 2014-2019).
Sebagai menteri, Tjahjo sebenarnya bisa dibilang tidak etis mengomentari Pasal 7 UUD 1945, apalagi pernyataannya itu merujuk pada bisa atau tidaknya JK mencalonkan lagi di Pilpres 2019. Namun, publik menjadi tahu, bahwa penilaian multitafsir Tjahjo (yang adalah kader PDIP) atas Pasal 7 UUD 1945 adalah perpanjangan langgam kagalauan PDIP.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), lewat salah satu komisionernya, Hasyim Asy'ari, hari ini (Selasa, 27/2) mengatakan, Jusuf Kalla masih boleh mencalonkan diri sebagai capres Pemilu 2019. Namun, JK tidak bisa kembali mencalonkan diri sebagai cawapres.
Menurut Hasyim, UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dan wapres menduduki masa jabatannya selama lima tahun. Dan setelah itu, keduanya bisa dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian, lanjut Hasyim, dalam konteks JK yang sudah menduduki jabatan wapres selama dua periode, hanya boleh mengajukan diri sebagai capres.
Sebagai partai besar dan berambisi untuk berkuasa selama dua periode baik di pemerintahan dan parlemen, PDIP tentunya tidak akan begitu saja menerima penilaian KPU. Ada satu cara konstitusional yang masih bisa diambil oleh PDIP, yakni meminta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Menarik ditunggu apa fatwa MK atas Pasal 7 UUD 1945. Apakah fatwa MK akan membuka jalan bagi duet Jokowi-JK kembali berpasangan di Pilpres 2019? atau PDIP akhirnya harus memilih cawapres lain untuk Jokowi? Seperti yang dijanjikan Puan, nantinya akan menjadi sebuah kejutan.
SUMBER