logo
×

Selasa, 17 April 2018

126 Ribu TKA Serbu Indonesia; Perpres Nomor 20/2018 Harus Dibatalkan

126 Ribu TKA Serbu Indonesia; Perpres Nomor 20/2018 Harus Dibatalkan

NUSANEWS - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Selain itu Perpres tersebut juga mengundang kecemburuan yang besar dari para buruh lokal. Karena Perpres tersebut mengistimewakan TKA sehingga keberadannya yang merugikan buruh lokal harus ditolak.

"Iya (Perpres No 20/2018) tidak adil dan bisa membuat orang-orang kita cemburu. Karena itu pemerintah harus segera mencabut Perpres tersebut sebelum menimbulkan persoalan yang lebih serius lagi," kata Fahri dalam diskusi "Menolak Perpres No.20/2018 tentang Tenaga Kerja Asing" di Jakarta, Selasa (17/4/2018).

Fahri menuturkan, saat ini DPR dan Pemerintah sudah sukses melahirkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Nomor 18 Tahun 2017 guna melindungi pekerja Indonesia di luar negeri. Tetapi buruh di dalam negeri sendiri justru tidak dilindungi, baik itu hak-haknya dalam pembayaran dan sebagainya. Bahkan sekarang ini, hak-hak pasar buruh di bawah unskillable (tidak punya keahlian) juga diambil alih oleh datangnya pekerja asing yang tidak mempunyai keahlian.

Padahal, ujar Fahri, di UU Ketenagakerjaan secara tegas menyatakan, bahwa syarat pekerja asing bisa bekerja di Indonesia adalah pertama, memiliki keahlian. Kedua, harus mengerti bahasa Indonesia sehingga memudahkan transfer pengetahuan. Tapi ternyata yang masuk Indonesia dan dilegalkan melalui Perpres tersebut justru yang tidak memiliki keahlian. Padahal saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sangat banyak.

"Kita tahu (adanya pengangguran), pertama karena penyerapan tenaga kerja bersumber dari pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi kita mandeg," jelasnya.

Bahkan, sambung Fahri, dalam ekonomi yang mandeg saat ini maka otomtis tidak bisa menyerap tenaga kerja, karena investasinya itu masih dominan dikerjakan oleh mesin. Ditambah lagi, pasar tenaga kerja Indonesia atau kue-kue tenaga kerja ini justru diserobot oleh tenaga kerja asing. Para pekerja asing menempati posisi pekerjaan di sektor informal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti di pertambangan, pembangkit listrik, dan pembukaan lahan.

"Sekali lagi, ini harus dihentikan. Sebab kalau tidak, saya siap berbicara dengan kawan-kawan di DPR bahwa ini tidak bisa dibiarkan dan harus ada investigasi," tegas Ketua Tim Pengawasan Tenaga Kerja Indonesia (Timwas TKI) DPR itu.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Gerindra, Ferry Juliantoro mengatakan, dikeluarkannya Perpres 20/2018 tidaklah berdiri sendiri. Karena dikeluarkan Perpres tersebut justru memperkuat iklim penguasaan ekonomi dan politik dengan negara China agar lebih mulus. "Ada penguasaan perusahaan multinational," ujar aktivis muda yang pernah menolak kenaikan BBM saat era pemerintahan SBY itu.

Ferry menuturkan, sekarang ini penguasaan ekonomi bentuknya baru yakni tidak berkaitan dengan perjanjian WTO atau multilateral, namun hanya dua (2) negara saja (bilateral). Seperti kebijakan terkait reklamasi, penguasaan lahan bukan hanya properti, bahkan pembangkit listrik dan lain sebagainya. Selain itu modal investasi Kereta Api Cepat (KAC) Jakarta - Bandung.

Sementara terkait jumlah TKA di Indonesia, Ferry mengungkapkan, saat ini sudah terdata sebanyak 126 ribu. Jumlah tersebut sebelum dikeluarkannya Perpres Nomor 20/2018. Sehingga dengan dikeluarkannya Perpres tersebut maka akan semakin banyak TKA yang mengalir ke Indonesia. Ferry mengakui, setiap negara memang butuh TKA jika memang membutuhkannya. Sedangkan dalam kasus di Indonesia membutuhkan TKA dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang tinggi.

"Kalau nanti Pemerintah tidak bisa mendengar maka kami akan turun ke jalan menolak Perpres ini," tegasnya.

Ketua Persatuan Pergerakan, Andrianto, Sip menegaskan, sangat penting pihaknya menolak Perpres 20/2018. Karena adanya Perpres tersebut akan membuat banjir TKA tanpa keahlian. Sehingga mereka akan bekerja di sektor - sektor  informal yang harusnya bisa dikerjakan pekerja lokal. Padahal saat ini Indonesia butuh TKA yang memiliki keahlian seperti untuk tenaga ahli di pekerjaan pembangkit listrik tenaga  nuklir.

"Perpres ini tidak mengatur hal ini, sedangkan tenaga kerja kita  bertambah tiap tahunnya 2 juta jiwa," paparnya.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengakui, jumlah tenaga kerja asing (TKA) hingga saat ini mencapai 126 ribu orang atau meningkat 69,85 persen dibandingkan akhir 2016 sebanyak 74.813 orang. Mayoritas pekerja tersebut berasal dari China, disusul kemudian Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura. Kendati jumlahnya melesat, pemerintah masih berkeinginan untuk mempermudah masuknya TKA profesional yang masih dibutuhkan di sektor-sektor tertentu.

Namun, Hanif menegaskan, permudahan perizinan TKA ini hanya ditujukan bagi tenaga kerja yang sudah ahli. Ia menjamin, pekerja kasar dan jenis-jenis pekerjaan lain yang bisa diisi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tetap dilindungi. Hanya saja, ia tak menyebut jenis-jenis pekerjaan yang bisa dengan mudah diisi oleh TKA.

Adapun kemudahan tersebut diberikan guna menciptakan birokrasi ketenagakerjaan yang lebih responsif. Ia ingin berkaca dari kebijakan negara lain, di mana izin kerja TKA dipermudah, tetapi pengawasannya tetap ketat.

"Intinya, persoalan perizinan TKA akan ditata biar lebih cepat dan lebih baik. Tetapi, skema pengendaliannya jelas, di mana izin dibuat mudah kemudian pengawasan diperkuat. Pengalaman di negara-negara lain seperti itu, izinnya simple (sederhana), tapi law enforcement-nya bagus," ujarnya di Jakarta, Selasa (6/3/2018) lalu.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut, banyak perusahaan yang mengeluh akan rumitnya mempekerjakan TKA profesional di dalam negeri. Sementara di sisi lain, kualifikasi tenaga kerja domestik masih belum mumpuni untuk mengisi jabatan tersebut.

"Memang, banyak yang mengeluh, karena mengurusi perizinan TKA itu lama. Apalagi, (TKA) yang mengurusi proyek strategis nasional, antara lain ya itu. Makanya, prosedur yang harus pakai rekomendasi teknis dari lembaga, kami hilangkan saja," ungkap Darmin.

Meski demikian, pemerintah tetap meminta perusahaan pemberi kerja untuk membuat Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Namun, kedua dokumen nanti rencananya akan digabung ke dalam satu perizinan, sehingga perusahaan tak perlu repot-repot lagi menunggu pengesahan dua dokumen.

"Ada RPTKA dan IMTA, ya sudah disatukan saja. Memang arah kami adalah penyederhanaan," jelasnya.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: