logo
×

Jumat, 29 Juni 2018

Rupiah Merosot Rp 14404 Per USD Malah Pesta Menjamu 15000 IMF dan Bank Dunia

Rupiah Merosot Rp 14404 Per USD Malah Pesta Menjamu 15000 IMF dan Bank Dunia

NUSANEWS - TERUS merosotnya nilai tukar Rupiah hingga menembus angka Rp 14.404 per United States Dollar (USD) pada perdagangan Jumat siang, 29 Juni 2018, jadi tanda bahaya.

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyatakan, pemerintah dan otoritas moneter harus mencari jalan keluar yang kreatif untuk mengatasi krisis nilai tukar tersebut.

“Kita memang pantas khawatir sebab nilai tukar Rupiah terus menurun meski pun Bank Indonesia telah melakukan intervensi pasar. Kita tak bisa terus-menerus menguras cadangan devisa untuk menolong Rupiah. Seperti kemarin, juga diingatkan oleh Pak Prabowo, cadangan devisa kita, saat ini, sangat kecil," katanya di Jakarta, Jumat (29/6/2018).

Sejak Februari lalu, kata Fadli Zon, BI sudah menghabiskan US$ 9,08 miliar cadangan devisa.

Ujungnya, per Mei 2018, cadangan devisa kita tinggal US$ 122,9 miliar, padahal Februari lalu, jumlahnya masih US$ 131,98 miliar.

"Artinya, pemerintah dan otoritas moneter perlu segera mencari jalan keluar lain untuk mengatasi krisis nilai tukar tersebut, tak bisa terus-menerus menggunakan cara konvensional untuk mengintervensi pasar," katanya.

Selain karena faktor global, menurut ekonom lulusan London School of Economics ini, jebloknya nilai tukar Rupiah salah satunya dipicu oleh tingginya tingkat ketergantungan kita terhadap impor, investasi asing, dan utang.

"Sehingga, tiap kali kita impor, membayar dividen, atau membayar bunga dan cicilan utang, selalu terjadi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah," katanya.

Menurut Fadli Zon, ini poin yang telah diingatkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, soal bahayanya perekonomian yang ditopang oleh utang.

"Per 30 April 2018, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp 4.180,61 triliun. Dari jumlah tersebut, 41 persen di antaranya berdenominasi valuta asing (valas), baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah," katanya.

Dengan komposisi utang valas yang demikian besar, menurut Fadli Zon, maka pembayaran beban utang, baik cicilan jatuh tempo maupun bunga, tentunya terikat pula dengan mata uang asing.

Ada tiga mata uang asing yang mendominasi utang kita, yaitu USD, Yen, dan Euro.

Sehingga, dampak dari pelemahan Rupiah terhadap sejumlah mata uang asing utama pasti akan menambah jumlah utang dalam Rupiah dan menambah beban yang harus dipikul APBN.

"Dalam catatan saya, jika disetarakan, jumlah utang kita dalam bentuk valas ekuivalen dengan US$ 109,6 miliar. Sehingga, setiap kali nilai tukar Rupiah terdepresiasi Rp 100, maka jumlah utang kita akan naik lebih dari Rp 10 triliun," katanya.

Karena itu, semakin besar depresiasinya, jumlah nominal yang harus kita bayar juga menjadi semakin besar.

"Itu baru bab utang pemerintah, belum lagi jika kita membahas utang sektor publik secara keseluruhan yang hampir Rp 9.000 triliun atau jika kita ikut memerhitungkan utang swasta yang per Februari 2018 sudah mencapai Rp 2.351,7 triliun," katanya.

Menurut Fadli Zon, besar sekali risiko yang bisa kita terima akibat depresiasi nilai tukar ini.

"Pada saat krisis 1997/1998, kita banyak sekali kehilangan aset strategis gara-gara krisis utang ini," katanya.

Jadi, kata Fadli Zon, di tengah depresiasi Rupiah yang terjadi terus-menerus, pemerintah tak lagi bisa berdalih jika utang Indonesia saat ini berada pada kondisi yang aman.

"Dalih itu membohongi diri sendiri. Apalagi, kalau ada yang mengatakan penyesuaian normal, orang itu benar-benar tak bertanggung jawab. Jika nilai tukar Rupiah sampai tembus lebih dari Rp 14.500, saya kira kita harus kembali bersiap menghadapi krisis ekonomi. Malah sekarang ini, bisa dikategorikan sebagai awal krisis," katanya.

Apalagi, kata Fadli Zon, pada saat bersamaan, neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita posisinya juga tak bagus.

Dalam periode Januari hingga Mei 2018, empat kali kita mengalami defisit neraca perdagangan.

Pada Januari, kita mengalami defisit US$ 760 juta, Februari defisit US$ 50 juta, April defisit US$ 1,63 miliar, dan Mei kemarin, kita defisit US$ 1,52 miliar.

"Ini adalah rekor terburuk sejak 2013," katanya.

Pada saat bersamaan, kata dia, pada kuartal pertama 2018, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga tercatat defisit US$ 3,8 miliar.

Di periode yang sama, defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) juga mencapai US$ 5,5 miliar.

Sebagai catatan, selama lebih dari satu dekade terakhir, NPI tercatat mengalami defisit itu hanya pernah terjadi pada tahun 2008, 2013, dan 2015.

Hanya pada tahun 2013 yang nilainya mencapai US$ 7,32 miliar.

Menurut Fadli Zon, hal ini jelas bukan kondisi yang menyenangkan.

"Meski indikator perekonomian tidak menunjukkan gejala membaik, kita belum mendengar pemerintah menjelaskan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya krisis," katanya.

Sebaliknya, kata Fadli Zon, pemerintah malah sibuk menyiapkan pesta untuk menjamu IMF dan Bank Dunia di Bali.

"Sungguh ironis, saat kurs sedang meluncur ke kisaran hampir mencapai Rp 15.000 dan proyeksi pertumbuhan ekonomi bisa jatuh di bawah angka 5 persen, defisit APBN menyentuh limit 3 persen, pemerintah Indonesia malah sibuk menyiapkan jamuan bagi 15.000 orang yang memboroskan anggaran hingga Rp 850 miliar," katanya.

Di tengah jargon Revolusi Mental, kata Fadli Zon, maka sikap pemerintah semacam ini justru memperlihatkan mental inlander.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: