logo
×

Selasa, 24 Juli 2018

Di Balik Penurunan Angka Kemiskinan

Di Balik Penurunan Angka Kemiskinan

NUSANEWS - Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 16 Juli lalu menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 mencapai 25,95 juta orang atau mencakup 9,82% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Jika dibandingkan dengan kondisi September 2017, terjadi penurunan sebesar 633,2 ribu orang atau sekitar 0,3 poin persentase. Hal ini tentu saja merupakan kabar gembira. Betapa tidak, untuk pertama kalinya tingkat kemiskinan nasional menyentuh satu digit dan terendah sejak Indonesia merdeka.

BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada 1976 mencapai 54,2 juta orang (40,1%). Pemerintah Orde Baru kemudian berhasil menurunkan angka kemiskinan secara konsisten hingga sebesar 11,3% pada 1996. Sayangnya, hantaman krisis ekonomi pada 1997/1998 menjadikan tingkat kemiskinan melonjak tajam.

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin meningkat hingga menyentuh 49,5 juta orang atau 24,2% dari total populasi pada 1998.

Pascakrisis berkat upaya penanggulangan kemiskinan yang konsisten dan berkesinambungan, tingkat kemiskinan secara umum mengalami penurunan (meski dengan laju yang lebih lambat dari periode sebelum krisis) hingga mencapai titik terendah sepanjang sejarah pada Maret 2018. Namun, di balik keberhasilan ini, ada sejumlah catatan penting yang perlu menjadi perhatian.

Disparitas Tinggi

Tingkat kemiskinan sebesar 9,82% merupakan angka rata-rata nasional yang tidak menggambarkan realitas kemiskinan yang terjadi di setiap provinsi. Faktanya, hampir 50% provinsi di Indonesia memiliki persentase penduduk miskin yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Selain itu, tidak semua provinsi menunjukkan kinerja yang mengesankan ihwal penurunan kemiskinan. Tercatat, 13 provinsi malah mengalami kenaikan jumlah penduduk miskin sepanjang September 2017- Maret 2018. Sebaran kejadian kemiskinan (incidence of poverty) juga sangat timpang.

Sebagai gambaran, sebanyak 28 dari setiap 100 penduduk Papua terkategori miskin, sementara di DKI Jakarta hanya sekitar empat dari setiap 100 penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Secara umum, tingkat kejadian kemiskinan tertinggi ada di Maluku dan Papua (21,2 %), sementara yang terendah ada di Pulau Kalimantan (6,1%) dan Pulau Jawa (8,9%).

Ketimpangan antar wilayah dalam capaian penanggulangan kemiskinan ini sejatinya mengonfirmasi bahwa pemerataan pembangunan masih harus terus diupayakan. Disparitas juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Hingga kini desa masih menjadi pusat kemiskinan.

BPS mencatat sebanyak 15,8 juta orang atau 60,9% dari total jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 merupakan masyarakat perdesaan. Kejadian kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi (13,2%) dibanding perkotaan (7,02%).

Fakta ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat perdesaan.

BPS mencatat, penurunan kemiskinan sepanjang September 2017-Maret 2018, yang mencapai 633,2 ribu orang, sebagian besarnya disumbang oleh penurunan di daerah perdesaan (505.000 orang). Penurunan ini merupakan dampak dari sejumlah program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian perdesaan misalnya alokasi dana desa, dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang menyasar penduduk miskin perdesaan.

Rentan Miskin

Meski tingkat kemiskinan telah menyentuh satu digit, yang juga patut menjadi perhatian adalah persentase penduduk yang tidak terkategori miskin dengan kondisi ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin ternyata masih cukup tinggi. Mereka sangat rentan untuk terjerumus ke dalam kemiskinan jika sewaktu-waktu terjadi gejolak ekonomi atau karena kebijakan tidak populis yang memukul daya beli masyarakat kecil seperti kenaikan harga BBM dan pencabutan subsidi listrik.

BPS mencatat sekitar 64,9 juta orang atau sekitar seperempat dari total jumlah penduduk Indonesia pada Maret 2017 termasuk rentan miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan tidak lebih dari 1,6 kali garis kemiskinan.

Jumlah penduduk hampir miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah 1,2 kali garis ke miskinan, bahkan mencakup se kitar 7,8% dari total penduduk (20,5 juta orang). Jika merujuk pada data Bank Dunia, hanya 30% penduduk Indonesia yang benar-benar aman dari kemiskinan (eco - nomically secure and middle class) pada 2015.

Selain itu, proporsi penduduk rentan miskin, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per hari se besar USD3,1- USD5,5, mencapai sekitar 40% dari total penduduk. Patut diperhatikan, ukuran kemiskinan yang digunakan Bank Dunia adalah dolar Ame rika Serikat (AS) dalam paritas daya beli (purchasing power parity/PPP).

Karena itu, konversi ukuran tersebut ke dalam rupiah tidak bisa menggunakan nilai tukar dolar AS ter - hadap rupiah di pasar uang (exchange rates). Sebagai gambaran, garis kemiskinan Bank Dunia sebesar USD1,9 per hari setara dengan Rp9.080,8 per hari. Terlepas dari ukuran kemiskinan yang digunakan, salah satu dimensi penting dari kemiskinan di Tanah Air adalah masih tingginya jumlah pen du - duk rentan miskin.

Taraf hidup mereka masih harus ditingkatkan melalui instrumen kebijakan dan program-program pembangunan yang berpihak pada masyarakat kecil.

Faktanya, lebih dari separuh total jumlah penduduk rentan miskin merupakan masyarakat perdesaan. Karena itu, pengembangan daerah perdesaan yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur perdesaan harus menjadi prioritas pemerintah. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan, khususnya di sektor pertanian yang merupakan corak utama perekonomian perdesaan.

Kita boleh bangga dengan tingkat kemiskinan yang telah menyentuh satu digit. Namun, di balik itu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti dibereskan, yakni disparitas tingkat kemiskinan antar wilayah yang sangat tinggi dan besarnya proporsi penduduk rentan miskin.

Selain itu, 26 juta jiwa penduduk miskin bukanlah jumlah yang sedikit. Angka ini hanya berselisih tipis dengan populasi Australia yang mencapai 24 juta jiwa. Karena itu, pemerintah jangan cepat berpuas diri.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: