logo
×

Jumat, 06 Juli 2018

Peneliti LIPI: Penantang Jokowi Bukan Lagi Prabowo

Peneliti LIPI: Penantang Jokowi Bukan Lagi Prabowo

NUSANEWS - Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris pesimis Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto bakal maju sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Menurutnya, Prabowo akan mengalami kesulitan dan bakal mengalami kekalahan untuk kedua kalinya melawan Jokowi jika tetap bersikukuh maju di Pilpres 2019 mendatang. Ia bahkan menyebut peluang Prabowo untuk maju nyapres hanya tinggal 50 persen.

"Belum ada yang cukup jelas siapa yang potensial sebagai penantang pak Jokowi ya, sebab, penantang Jokowi bukan lagi Prabowo, Prabowo [peluangnya] jadi tinggal 50 persen dengan melihat perkembangan saat ini," ujar Syamsudin saat menghadiri diskusi Para Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (6/7).

Menurutnya, Prabowo dan partai koalisinya saat ini tak fokus dan minim persiapan dalam menghadapi Pilpres 2019. Ia lantas membandingkannya dengan kesiapan Prabowo yang matang pada Pilpres 2014 lalu.

Ketidakfokusan Prabowo itu terlihat pada pidato-pidato politiknya yang acap kali tak berdasarkan fakta yang objektif.

"Prabowo juga enggak fokus, enggak seperti saat dia maju di Pilpres 2014 lalu, misalnya soal LRT, soal Indonesia Bubar, mulai ngaco ngomongnya ya," kata dia.

Lihat juga: SMRC: Prabowo Taklukkan Jokowi di Jabar Saat Pilkada 2018

Dua Kelemahan Krusial

Syamsudin menilai terdapat dua kelemahan krusial yang kini dimiliki Prabowo untuk bertarung di Pilpres 2019. Pertama, Syamsudin menduga bahwa Prabowo tak memiliki bekal logistik atau modal yang cukup untuk bertarung di Pilpres.

Ia menilai bahwa faktor adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo sebagai penyokong modal utamanya sedang 'bokek' dan tak mampu lagi membiayai kontestasi mantan Pangkostrad itu di Pilpres tahun depan.

"Faktornya [lemahnya modal] karena Hasyim, itu karena posisi finansialnya saya menduga dengan membaca datanya di majalah Forbes tak begitu menggembirakan, tahun 2014 Hasyim di posisi 40 atau 41. Nah di 2017 ini posisinya ada di urutan 90-an, jauh," ujarnya.

Syamsudin menilai bahwa kontestasi pemilihan presiden di Indonesia yang sangat liberal dan terbuka membutuhkan dana yang tak sedikit. Ia lantas merinci setidaknya kandidat membutuhkan lebih dari Rp1 triliun untuk mengarungi seluruh tahapan pilpres.

"Jadi ini bukan masalah sepele, ini masalah luar biasa. Karena dana pencapresan sendiri lebih dari 1 T," ujarnya.

Syamsudin melihat bukti minimnya modal itu tampak jelas ketika Prabowo membuka rekening 'Dana Perjuangan' menggalang dana publik untuk berjuang di Pilpres mendatang.

Prabowo menyebut gerakan bertajuk Galang Perjuangan itu bertujuan mencegah demokrasi yang terbelenggu janji politik dengan pemodal.

"Itu yang melatarbelakangi Prabowo menggalang dana publik, itu bukan main-main, itu serius," ujarnya.

"Kawan-kawan di Gerindra itu enggak tahu soal ini. Bagi saya yang tahu soal ini tuh Pak hasyim dan Sandiaga Uno, yang sering mem back-up sumber dana bagi Prabowo," ujarnya.

Faktor kedua, kata Syamsudin, Prabowo telah tersandera oleh persaingan elite parpol pengusungnya yang saling 'ngotot' berebut menjadi calon wakil presiden.

Diketahui bahwa PKS telah menyodorkan sembilan nama Cawapres ke Prabowo yang hingga kini belum jelas nasibnya. Selain itu, ada nama Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan dan Ketua Kogasma Paetai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sama-sama menyodorkan nama ke Prabowo.

"Kendala ini lebih kepada persaingan elite di sekeliling Prabowo juga. Yang kita tahu PKS punya 9 nama cawapres, Zulkifli Hasan sudah pasti berminat juga. Lalu penjajakan yang tak kenal putus dari Cikeas menjajakan AHY," kata Syamsudin.

Menurutnya persaingan para elit parpol pengusung dan tak jelasnya komitmen berkoalisi ini menjadi bukti Prabowo kesulitan membangun koalisi.

Ia menilai bahwa kepentingan para elit parpol pendukung Prabowo lebih mengedepankan kepentingan politik jangka pendek ketimbang kepentingan ideologis.

"Sebab basis koalisi ini semata-mata kepentingan politik jangka pendek, selama basis politik tak ideologis ya gampang bubar, satu masuk yg lain keluar, selamanya akan demikian," ujar dia.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: