logo
×

Minggu, 22 Juli 2018

Pertamina Dijegal, Blok Rokan Berpeluang Kembali Ke Tangan Asing

Pertamina Dijegal, Blok Rokan Berpeluang Kembali Ke Tangan Asing

NUSANEWS - Publik dibuat geger oleh surat bernomor S-427/MBU/06/2018 yang dikeluarkan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengenai persetujuan penjualan aset PT Pertamina (Persero) untuk menyelamatkan perusahaan itu dari ancaman krisis finansial. Namun pada saat yang bersamaan tidak banyak yang tahu bahwa Pertamina juga berkemungkinan akan ‘mengigit jari’ dari keinginannya mendapatkan Blok Rokan yang tengah mengalami terminasi atau akan habis kontrak pada 9 Agustus 2021.

Diketahui blok yang saat ini dikontrak dan dioperatori oleh PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), pada bulan ini akan diputuskan nasibnya siapa yang akan dipercaya oleh pemerintah untuk menjadi kontraktor berikutnya. Sejauh ini pemerintah mengaku hampir semua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia menaruh minat pada blok yang ada di provinsi Riau itu, maklum saja memang Blok Rokan kandungannya cukup menjanjikan, meskipun sudah dieksploitasi oleh CPI selama hampir 50 tahun (sejak 09 Agustus 1971), namun produksinya masih menjadi penyumbang terbesar dari produksi minyak nasional.

Mengacu kepada data Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) per 31 Desember 2017, Blok Rokan menduduki peringkat teratas dengan perolehan 28 persen dari realisasi lifting nasioanal sejumlah 801.400 barel oil per day (BOPD). Sehingga tak heran Blok Rokan menjadi primadona buruan banyak KKKS.

Pada posisi saat ini secara resmi operator eksisting yakni CPI dan Pertamina telah mengajukan proposal untuk memperoleh Brok Rokan, keduanya telah dipanggil oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyampaikan paparan.

“Yang minat banyak, selain Chevron ada Pertamina. Yang lain banyak minat, secara lisan banyak banget. Yang asing maupun dari luar negeri, yang datang minat semua,” kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto.

Pertamina Dijegal

Agaknya Pertamina harus menelan rasa pahit. Idealnya dengan wacana sejumlah asetnya akan dijual, mestinya Pertamina diberi dukungan kebijakan oleh Kementerian ESDM berupa penyerahan blok potensial ke Pertamina. Dengan blok tersebut Pertamina bisa mencari pendanaan melalui share down secara business to business (B to B).

Namun nyatanya Pertamina akan sulit mendapatkan Blok Rokan lantaran dijegal oleh Peraturan Menteri (Permen ESDM) Nomor 23 Tahun 2018 yang secara resmi diundangkan sejak 24 April 2018. Permen ini merupakan perubahan dari Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang akan berakhir kontrak kerjasamanya.

Adapun Poin perubahannya; Permen 15 memprioritaskan blok terminasi jatuh ke tangan Pertamina sebagai kepanjangan tangan negara dengan bentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun pada Permen 23 ini pemerintah memprioritaskan blok terminasi untuk dilakukan perpanjangan kontrak oleh kontraktor yang sedang berlangsung atau kontraktor eksisting.

Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat 1 Permen ESDM No 15 mengatakan: Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang berakhir Kontrak Kerjasamanya dilakukan dengan cara; (a) Pengelolaan oleh PT Pertamina, (b) Perpanjangan Kontrak Kerjasama oleh Kontraktor, (c) Pengelolaan secara bersama antara PT Pertamina dan Kontraktor.

Berbanding terbalik dengan Pasal 2 ayat 1 Permen ESDM No 23 yang mana mengatakan: Menteri menetapkan Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang berakhir Kontrak Kerjasamanya dalam bentuk; (a) Perpanjangan Kontrak Kerjasama oleh Kontraktor, (B) Pengelolaan oleh PT Pertamina, (c) Pengelolaan secara bersama antara Kontraktor dan PT Pertamina.

Tuntutan Pencabutan Permen 23

Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menuntut Kementerian ESDM mencabut Permen Nomor 23 Tahun 2018. Presiden FSPPB, Arie Gumilar mengatakan; Permen itu tidak mencerminkan keberpihakan kepada BUMN untuk memberikan pelayanan kepada rakyat. Sebaliknya tegas Arie, Permen itu sebagai wujud keberpihakan pemerintah kepada asing, khususnya pada kasus Blok Rokan, Permen itu dianggap sebagai wujud keberpihakan Kementerian ESDM kepada perusahaan Chevron asal Amerika Serikat.

“Kami menuntut batalkan Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018 yang tidak mencerminkan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Permen 23 lebih berpihak kepada kontraktor asing atau kontraktor eksisting untuk melanjutkan kontraknya,” kata Arie.

Arie mengancam jika pemerintah tetap memberikan Blok Rokan itu kepada CPI, Serikat Pekerja akan melakukan aksi demonstrasi secara besar-besaran termasuk aksi industrial mogok kerja. Sebab tegas Arie, bagaimanapun pemerintah harus bertanggung jawab untuk memberi dukungan kebijakan terhadap Pertamina yang sedang terpuruk. Demikian keadaannya tukas Arie, tak lain akbiat Pertamina menjalankan penugasan dari pemerintah yang merugikan keuangan perusahaan.

“Keuangan Pertamina terganggu akibat penugasan dari pemerintah untuk penjualan Premium dan BBM satu Harga. Nah Blok Rokan mau dikasih ke Chevron. Blok Rokan itu menyumbang 28 persen dari produksi nasional. Jadi kalau ini kembali ke negara dan dikelola oleh BUMN maka secara signifikan penguasaan produksi gas ini menunjang kedaulatan energi. Kalau pemerintah menyerahkan ini ke Chevron, kita akan aksi besar-besaran bahkan aksi industrial dengan mogok kerja,” pungkas Arie.

Sementara VP Corporate Comunnication Pertamina, Adiatma Sardjito menyatakan Kemampuan Pertamina dalam hal penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) tak bisa diragukan lagi. Menurutnya Pertamina mempunyai banyak pengalaman dalam hal penerapan teknologi EOR, sehingga tidak kalah dengan CPI yang telah mengajukan proposalnya dengan penawaran teknologi EOR secara full scale yang diklaim akan mampu meningkatkan produksi hingga 500.000 BOPD.

“Pertamina sangat mampu dan punya banyak pengalaman dengan teknologi EOR,” ujar Adiatma.

Motif Memprioritaskan Asing

Untuk mengingatkan, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Menteri Ignasius Jonan, merupakan perubahan dari Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Menteri pendahulunya Sudirman Said. Karenanya Staf Khusus Menteri ESDM era Sudirman Said yakni Said Didu mempertanyakan motif dibalik terbitnya Permen yang memprioritaskan blok terminasi jatuh kepada asing. Dia menduga ada upaya penyelewengan kebijakan untuk kepentingan dan keuntungan pihak tertentu.

“Begini, di ESDM itu, kalau korupsi dipelaksanaan, itu sangat bodoh, karena mensiasati di kebijakan lebih gampang. Nah kayak Permen ini kan bisa mensiasati di kebijakan. Itulah rawannya di Kementerian ESDM. Dalam kebijakan tidak ada yang salah antara mengutamakan Pertamina dan tidak mengutamakan Pertamina, itu pilihan sikap pemerintah. Itulah bahaya di ESDM,” kata Said Didu.

Said menyarankan agar pemerintah meninjau kembali Permen 23 dan memberikan Blok Rokan kepada Pertamina layaknya alih kelola pada Blok Mahakam atas keputusan Sudirman Said. Lagi pula tambah Said, jikapun CPI masih tertarik atas blok tersebut, CPI tetap memiliki ruang untuk kerjasama dengan Pertamina secara (B to B).

“Dulu dikasih ke Pertamina terlebih dahulu, kalau Pertamina tidak sanggup, boleh dilempar. Sekarang berubah memprioritaskan kontraktor eksisting. Ya kalau memprioritaskan eksisting, ya Pertamina nggak pernah dapat. Kasihan tu,” pungkas Said Didu.

Sama halnya dengan Anggota Komisi VII DPR, Ramson Siagian meminta pemerintah memberikan Blok Rokan kepada Pertamina sebagai wujud untuk mendukung dan memperkuat bisnis BUMN. Pada akhirnya ujar Ramson, jika BUMN Migas sehat dan kuat akan berkontribusi jauh lebih besar untuk memberikan layanan selama keberadaan negara.

“Harusnya kita prioritaskan Pertamina supaya Pertamina bisa lebih besar. Nantikan yang menerima manfaat rakyat. Kalau dikasih ke Chevron, apa bisa dia disuruh-suruh seperti Pertamina yang banyak menanggung beban penugasan dari pemerintah,” kata Ramson.

Menyimpang Dari Konstitusi

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak Blok Rokan kepada CPI, sebab jelas Marwan, Konstitusi UUD 1945 mengamanatkan pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat yang dikelola oleh pemerintah melalui BUMN.

Dia menambahkan, jikapun alasan pemerintah mengeluarkan Permen ESDM Nomor 23 untuk memberikan kenyamanan dan kepastian berbisnis di Indonesia yang kemudian agar KKKS berminat melakukan investasi di Indonesia, bukan berarti pemerintah harus memberikan kontrak hingga cadangan yang dikandung blok migas terkuras habis.

Terlebih lanjut Marwan, setelah Blok Rokan diserahkan ke Pertamina, bukan berarti menghilangkan kesempatan CPI pada blok tersebut. Melainkan CPI bisa melakukan kerjasama dengan Pertamina secara B to B.

“Bagi saya tidak ada alternatif itu untuk diberikan kepada Chevron, apakah tidak cukup Chevron telah menguasai blok itu hampir selama 50 tahun. Ini negara hukum, pemerintah harus patuh. Soal kontraktor tertarik masih mau masuk, itu bisa dilakukan deal secara bisnis to bisnis,” tegas dia.

Marwan mengingatkan agar pemerintah berlaku transparan dan tidak menyalahgunakan kebijakan dalam penentuan masa depan Blok Mahakam.

“Saya ingatkan kepada Menteri ESDM jangan coba-coba menipu masyarakat. Tidak ada alternatif lain, harus diserahkan ke Pertamina. Soal Chevron nanti mau punya saham disana itu silahkan tapi itu dengan cara B to B mereka harus bayar didepan sekian miliar dollar misal, dan itu menjadi pemasukan bagi Pertamina untuk bisa tumbuh berkembang dan jangan juga nanti di sana ada manipulasi harga atau KKN. kita ingatkan juga dari sekarang,” pungkas Marwan.

Klarifikasi Kementerian ESDM

Diakui bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 tahun 2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya, kontraktor eksisting memperoleh keutamaan atau prioritas dalam melanjutkan pengelolaan blok migas yang berakhir kontraknya

Namun hal itu dikatakan tidak diperoleh dengan serta merta begitu saja, Kementerian ESDM akan melakukan evaluasi terhadap proposal yang diajukan oleh CPI dan mempertimbangkan dari aspek kemampuan produksi serta pemberian bonus tandatangan yang lebih besar.

“Belum tentu (diberikan ke Chevron). Cuma aturan menterinya kan ke Chevron dulu, kita evaluasi. Kalau negosiasinya tidak deal, tawarin ke Pertamina,” jelas Dirjen Migas, Djoko Siswanto.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: