
NUSANEWS - Pemilihan Kiai Maruf Amin sebagai pendamping Joko Widodo di Pilpres 2019 terbilang instan. Sebab, yang dipersiapkan sejak awal oleh Jokowi adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Keputusan beralih ke Kiai Ma’ruf bisa dibilang hanya 30 menit jelang pengumuman.
Namun pemilihan Kiai Ma’ruf yang mendadak itu bukan berarti blunder bagi Jokowi. Petahana justru diuntungkan dengan kehadiran Maruf Amin di sisinya.
Pilpres 2019
Gelaran pilpres di tahun 2019 berbeda dengan pilpres sebelumnya. Jika sebelumnya pileg digelar lebih dulu ketimbang pilpres, maka kali ini keduanya digelar secara bersamaan alias serentak.
Dalam gelaran yang serentak itu, konsentrasi partai bakal terpecah. Partai akan sibuk untuk fokus memenangkan caleg karena berhubungan langsung dengan masa depan partai.
Sebab, jika hasil pilpres tidak melebihi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen, maka partai itu akan vakum setidaknya selama 5 tahun.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan telah memprediksi hanya ada 6 dari 16 partai yang bisa memenuhi ambang batas parlemen tersebut. Itu artinya akan ada 10 partai peserta Pemilu 2019 yang tidak bisa masuk Senayan.
Kondisi seperti ini tentu akan membuat partai lebih fokus menyelamatkan diri ketimbang memenangkan pilpres yang tidak berpengaruh pada kelangsungan hidupnya.
Rumusnya sederhana, partai akan tetap hidup jika mampu meraih empat persen suara di pileg. Tapi partai belum tentu bisa hidup sekalipun pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung menang di pilpres.
KH Maruf Amin
Kiai sepuh berusia 75 tahun ini mungkin dipandang sebelah mata saat muncul. Dia bahkan dianggap sebatas pelengkap Jokowi untuk menghindari serangan isu SARA sebagaimana yang marak terjadi di Pilkada DKI.
Namun selain itu semua, publik jarang menghitung basis kekuatan yang dimiliki Kiai Ma’ruf.
Jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf merupakan peneguhan bahwa dia memiliki basis dukungan ulama di seluruh Indonesia. Basis ini tersebar di segala penjuru organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tanah air.
Setidaknya dukungan itu nampak saat dia mengeluarkan fatwa penistaan agama terhadap ucapan Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lalu. Fatwa tersebut bahkan dikawal oleh umat Islam dengan berunjuk rasa di kawasan ring satu DKI Jakarta. Aksi yang disebut kemudian dengan Aksi 212 itu konon dihadiri oleh tujuh juta umat Islam.
Selain itu, kini Kiai Maruf juga menjabat sebagai Rais A’am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Itu berarti secara kasat mata dia sudah memiliki basis dukungan NU yang jumlahnya lebih dari 70 juta orang. Warga Nahdliyin dikenal solid dan manut pada kiai, sehingga bukan tidak mungkin mereka juga akan manut memberi dukungan ke pasangan Jokowi-Maruf.
Kiai Ma’ruf juga tercatat menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat Majelis Dzikir Hubbul Wathan (MDHW). Organisasi yang diketuai adik kandung Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, Mustofa Aqil Siradj memang terbilang baru. Tapi, organisasi ini telah dua kali menggelar dzikir akbar di Istana Negara.
Kedua dzikir akbar itu digelar di awal bulan kemerdekaan dan selalu dihadiri oleh ribuan kiai. Dukungan kiai pada dasarnya memilik efek domino kepada para santri yang dibesut.
Kehadiran Ma’ruf tidak bisa dipandang sebelah mata lagi karena dia adalah tim sukses Jokowi yang sesungguhnya. Sebab, jika semua itu bisa dikonversi menjadi dukungan, maka bukan tidak mungkin bahwa Kiai Ma’ruf merupakan faktor utama pemenangan Jokowi.
Sementara di saat yang sama, partai pendukung Jokowi yang total berjumlah 9 partai dipercaya hanya akan fokus pada penyelamatan diri masing-masing. [ian]
SUMBER