logo
×

Kamis, 02 Agustus 2018

Menghalau Gerakan #2019GantiPresiden, Efektifkah?

Menghalau Gerakan #2019GantiPresiden, Efektifkah?

NUSANEWS - Gerakan tanda pagar (Tagar) #2019GantiPresiden menjelang pelaksanaan Pilpres kian massif. Di sejumlah kota besar, demam tanda pagar ini cukup terasa. Gerakan tandingan turut dihadirkan, namun tak masif. Kini, merintangi gerakan ini melalui mulut agamawan. Apa dampaknya?

Eskalasi politik jelang pelaksanaan pilpres kian menghangat. Begitu juga gerakan tanda pagar #2019GantiPresiden yang dicetuskan politisi PKS Mardani Alisera ini semakin direspons antusias oleh publik.

Di sejumlah kota besar seperti di Jakarta, Solo, Medan dan Batam, gerakan tagar ini telah dideklarasikan. Khusus untuk di Batam, sempat terjadi insiden yang menimpa deklarator gerakan tagar ini, Neno Warisman, penyanyi sekaligus aktris lawas era 80-an. Ia menjadi korban persekusi dan sempat tertahan beberapa jam di Bandara Hang Nadim, Batam.

Namun, perjalanan tagar ini tak seluruhnya mulus. Rencana deklarasi tagar di Jawa Barat pada 11 Agustus 2018 ini mendapat respons dari Majelis Ulama Islam (MUI) Provinsi Jawa Barat. Menurut Sekretaris MUI Jawa Barat Rafani Achyar, sebaiknya rencana tersebut dibatalkan. Alasannya untuk menjaga kondusifitas masyarakat Jawa Barat.

"MUI Jabar mengimbau agar semua pihak bisa menahan diri dan memilih untuk tidak melaksanakan kegiatan yang memicu konflik agar kondusifitas Jabar dapat terjaga," ucap Rafani di Kantor MUI Jawa Barat, Kamis (2/8/2018).

Bukan tanpa sebab pernyataan tersebut muncul. Achyar menyebutkan deklarasi gerakan tagar di Batam beberapa waktu lalu ternyata menimbulkan kericuhan di tengah masyarakat. Ia menyebutkan gerakan tagar tersebut lebih banyak sisi provokasi dan mengarah pada tindakan yang keluar dari jalur konstitusi.

Pernyataan Sekretaris MUI Jabar ini tentu menjadi pukulan berat bagi gerakan tagar ini. Setidaknya pernyataan MUI Jabar ini merupakan penolakan resmi pertama dari institusi agamawan dalam hal ini ulama. Meski, pernyataan MUI ini tidak sekonyong-konyong dipatuhi oleh masyarakat. Apalagi, itu hanya sekadar pendapat.

Pendapat pengurus MUI terbuka untuk diperdebatkan. Penyebutan gerakan tagar ini merupakan aksi inkonstitusional juga bisa dibantah. Setidaknya, gerakan tagar ini dimaksudkan mengganti presiden melalui jalur konstitusional yakni melalui pemilu reguler lima tahunan yang jatuh pada 2019. Ini sesuai dengan tagar #2019GantiPresiden.

Di sisi lain, pernyataan MUI tersebut justru bisa dimaknai lain oleh masyarakat yang setuju dengan tagar ini. Anggapan dan persepsi kepada MUI berpihak pada kandidat petahana sulit untuk ditepis. Jika persepsi ini muncul, pendapat MUI tersebut tentu bakal tidak dipatuhi. Alih-alih menghentikan gerakan ini, publik justru kian bersemangat mengkampanyekan tagar tersebut.

Namun di atas semua itu, gerakan tagar ini tidak akan menimbulkan masalah selama belum ada capres definitif yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun lain cerita jika pasangan capres-cawapres telah terdaftar di KPU, maka gerakan tagar ini masuk entitas sebagai gerakan politik yang berarti masuk kategori kampanye.

Dengan kata lain, jika gerakan ini dilakukan setelah 10 Agustus 2018 atau batas akhir pendaftaran capres-cawapres, maka regulasi tentang pemilu dapat menjerat siapa saja yang berusaha mengkampanyekan kandidat yang diusung. Gerakan tagar #2019GantiPresiden secara nyata merupakan aksi kontra kandidat petahana. Oleh karenanya, penyelenggara pemilu dapat mengatur sejumlah gerakan politik dengan baju relawan dan sejenisnya yang mengarah pada kampanye dan memasarkan kandidat.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: