logo
×

Senin, 17 September 2018

China Pemicu Utama Defisit Dagang RI, AS Menjadi Penyelamat

China Pemicu Utama Defisit Dagang RI, AS Menjadi Penyelamat

NUSANEWS - Meski narasi kedekatan Indonesia dan China sering berhembus di tingkat politik, tapi kenyataannya Indonesia justru memikul defisit perdagangan terbesar dengan Negeri Tirai Bambu tersebut. Ini terlihat dari data perdagangan per Agustus.

Data neraca perdagangan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus menyebutkan Indonesia kembali mengalami defisit US$1,02 miliar, atau lebih tinggi dari konsensus tim CNBC Indonesia sebesar US$ 645 juta. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan Juli 2018 yang defisit US$2,03 miliar.

Defisit yang masih tinggi itu terjadi menyusul perlambatan ekspor. Data BPS memperlihatkan, ekspor hanya tumbuh 4,15% year-on-year (YoY) atau lebih lambat dari konsensus sebesar 10,1%. Sementara, impor tumbuh 24,65% YoY atau sedikit lebih rendah dari konsensus sebesar 25%.


Jika dielaborasi per negara berdasarkan perdagangan non-migas, Indonesia mengalami defisit terbesar dengan negara-negara di kawasan Asia, dipimpin China. Sementara dengan negara-negara kawasan Amerika dan Eropa, Nusantara mampu mencatatkan surplus yang tidak sedikit.



Indonesia masih mengalami defisit terbesar dengan Negeri Panda dengan total mencapai US$1,84 miliar. Angka ini bahkan 4 kali lipat lebih banyak dari defisit yang dialami terhadap Thailand. Dengan negara lain seperti Thailand, Singapura, Jepang dan Jerman nilai defisit masih di bawah US$500 juta.

Dari sisi surplus, Indonesia menikmati keuntungan perdagangan tertinggi dengan Negeri Sam. Pada periode tersebut, Indonesia meraih surplus US$861,5 juta disusul defisit Negeri Bollywood sebesar US$777,8 juta. Negara tetangga Malaysia menyusul dengan menyumbang surplus US$215,9 juta.

Berdasarkan data di atas, menarik untuk dieksplore lebih jauh perdagangan dengan China dan AS didasari nilai defisit dan surplus tertinggi.

Ketergantungan Barang Modal Untungkan China

Jika dielaborasi, salah satu penyebab Indonesia tekor tinggi adalah ketergantungan terhadap impor barang modal dari Negeri Tiongkok. Mengacu pada data resmi terbaru mengenai ini, yakni rilis data buletin statistik impor per Juni 2018, terlihat bahwa lima barang impor utama berasal dari kategori barang modal.

Hal ini yang menyebabkan di periode tersebut (pada Juni), Indonesia juga mengalami defisit hingga US$157 juta.




Ketergantungan ini, tidak lepas dari kemampuan Indonesia dalam memproduksi barang di dalam negeri. Di tengah tantangan industriliasi serta minimnya faktor pendukung seperti infrastruktur, mau tidak mau Indonesia masih melakukan impor guna memenuhi permintaan di dalam negeri.

Meski Indonesia berusaha menggenjot ekspor terutama dari sisi barang hasil pengolahan gas mencapai US$841 juta (Januari-Juni 2018), tetapi sulit mengimbangi tingginya nilai impor. Akibatnya, Indonesia sulit mengungguli Negeri Panda dari sisi perdagangan, setidaknya hingga periode Agustus 2018.

Sementara itu, Indonesia mampu meraih sukses besar dari sisi perdagangan dengan AS. Dari data buletin statistik ekspor BPS pada Juni 2018 menyebutkan nilai ekspor minyak mentah dan hasil olahannya hingga kopi yang cukup tinggi membantu Indonesia meraih surplus.



Lalu dari impor, ketergantungan Indonesia terhadap komoditas dari Negeri Paman Sam di antaranya minyak biji-bijian, kapas, olahan bahan kimia, bagian pesawat terbang hingga pakan ternak. Meskipun Indonesia masih mengimpor banyak komoditas dari AS, tetapi tingginya ekspor masih membantu surplus.

Sayangnya, surplus ini kini terancam oleh sikap Presiden AS Donald Trump yang kian proteksionistik.

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: