
NUSANEWS - Total utang pemerintah hingga Agustus 2018 sudah mencapai Rp 4.363,19 triliun. Angka itu meningkat Rp 537,4 triliun jika dibandingkan periode yang sama di 2017 sebesar Rp 3.825,79 triliun.
Apakah jumlah tersebut utang pemerintah besar atau kecil?
Ekonom senior Faisal Basri dalam lama resminya menyebutkan bahwa jumlah utang pemerintah yang mencapai Rp 4.363,19 triliun masih terbilang kecil.
"Benar adanya bahwa utang pemerintah Indonesia relatif kecil, bahkan relatif sangat kecil, dibandingkan dengan utang pemerintah kebanyakan negara, baik negara maju maupun negara berkembang," kata Faisal seperti yang dikutip dari laman pribadinya, Jakarta, Senin (24/9/2018).
"Juga masih jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 60%," tambah dia.
Dia menyebut, negara pengutang paling besar adalah Jepang. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Jepang mencapai 253% dan Amerika Serikat 105,4%. Yunani yang dililit utang sehingga terpaksa meminta bantuan IMF dan Bank Sentral Europa, rasio utangnya 178,6%.
Tetangga dekat Singapura yang sangat makmur sekalipun, yang perekonomiannya penuh gemerlap dan PDB per kapitanya 15 kali lipat Indonesia, rasio utangnya di atas 100%.
Sedangkan rasio utang pemerintah Indonesia hanya 28,7%, lebih rendah dibandingkan dengan kebanyakan negara ASEAN dan hanya lebih tinggi dari Brunei Darussalam.
Menurut Faisal, berutang bukanlah aib. Sebab hampir semua negara berutang, tidak peduli negara kaya atau negara miskin, negara besar atau negara kecil, negara komunis atau pun negara liberal.
Utang pemerintah merupakan unsur tidak terpisahkan dari kerangka kebijakan ekonomi pemerintah, khususnya kebijakan fiskal.
"Sekalipun suatu negara mengalami surplus anggaran, seperti Jerman, tetap saja negara itu menerbitkan surat utang. Tujuannya antara lain untuk menebus utang lama yang suku bunganya lebih tinggi (reprofiling), sehingga beban utang berkurang," jelas dia.
Jadi, perihal utang ini, lanjut Faisal, persoalannya bukan berutang atau tidak berutang atau menghapuskan utang, melainkan bagaimana mengelola utang sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan ekonomi untuk mencapai salah satu tujuan makroekonomi jangka panjang, yakni pertumbuhan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut Faisal menjelaskan, utang bisa juga dipandang sebagai alat untuk menempuh kebijakan anti siklikal. Jika perekonomian sedang lesu, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif lewat stimulus fiskal dengan meningkatkan belanja dan atau menurunkan tarif pajak atau bahkan menghapuskan jenis pajak tertentu.
Kebijakan fiskal yang ekspansif atau yang mengakibatkan defisit anggaran itu dibiayai oleh utang. Sebaliknya, jika perekonomian sedang memanas (over heating), pemerintah meredam belanja dan atau menaikkan pajak, sehingga terjadi surplus anggaran.
"Apakah karena itu pemerintah tak berutang? Bisa saja Pemerintah tetap menerbitkan surat utang untuk tujuan reprofiling, oleh karena itu, tidak perlu berambisi melunasi seluruh utang atau bebas dari utang," ungkap dia.
SUMBER