
Polemik di dunia pendidikan seakan tiada habisnya. Mulai dari kurikulum, jam mengajar, hingga masalah yang melanda pengajar itu sendiri. Seperti masalah pegawai non PNS/honorer yang belum mampu terselesaikan sampai saat ini.
Sebagaimana ratusan guru honorer katergori 2 (K2) dan non katagori menyambangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Konawe, Kamis (27/9/2018). Ditambah lagi, Ketua Forum K2 Persatuan Guru Republik Indonesia (FHK2-PGRI) Pusat, Ahmad Maulana Malik, mempertanyakan data honorer K2 Konawe.
Ahmad mengungkapkan, pihaknya sudah mempertanyakan ke Kemenpan terkait Surat Pertanggungjawaban Mutlak (SPTJM) Konawe. Namun pihak kementerian menjawab tidak ada data Konawe (Sultrakini.com, 27/09/2018).
Selain itu, Koordinator Daerah (Korda) Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Karawang Ahmad Gojali mengungkapkan, hari ini sekitar 4.000 koleganya melakukan aksi mogok mengajar sebagai bentuk protes atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2018 (Jpnn.com, 17/09/2018).
Di lain pihak, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta pekerja honorer tak memaksakan kehendak untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. Pasalnya, ada aturan yang harus dipatuhi untuk menjadi PNS (Okezone.com, 20/09/2018).
Menelisik Masalah Guru Honorer
Masalah yang menimpa para pendidik di negeri tercinta ini seolah tak ada hentinya. Apalagi berbicara mengenai kesejahteraan keuangan. Karena tak sedikit dari mereka yang memiliki profesi tak hanya sebagai pengajar. Tentu hal tersebut dilakukan dalam rangka menutupi kebutuhan hidup. Bagaimana tidak, jika hanya mengandalkan gaji yang mereka dapatkan dapat dipastikan jauh dari kata cukup. Terlebih bagi yang berstatus sebagai guru non PNS/honorer.
Selain itu, kalau menengok masa kerja, tak sedikit dari mereka telah lama mengabdikan diri untuk bangsa ini dalam rangka mendidik anak bangsa. Bahkan tak jarang telah memasuki usia setengah abad, namun kesejahteraannya pun masih jauh dari harapan. Miris!
Padahal, jika membahas persoalan jam kerja, ada diantara mereka yang memilik jam kerja yang tak kalah dengan guru PNS. Hanya sayang beribu sayang, hal itu sepertinya masih luput dari perhatian pihak yang berwenang. Sementara itu, di sisi lain mereka juga dituntut untuk dapat maksimal dalam mengajar dan mencerdaskan anak bangsa.
Lebih dari itu, perlakuan buruk sistem sekuler terhadap profesi pendidik tentu tidak dapat dipungkiri. Mereka digenjot dengan berbagai peraturan yang berbelit, namun minim perhatian yang berkaitan dengan kesejahteraan khususnya. Begitu juga pandangan sistem ini terhadap bagaimana urgensi pendidikan yang sesungguhnya. Karena sistem sekuler menempatkan sistem pendidikan hanya sebagai komponen ekonomi, yakni sebagai bagian pencetak mesin industri bukan pembangun peradaban sehingga kental dengan hitungan untung rugi.
Kaca Mata Islam
Dalam Islam pendidikan merupakan perkara yang tak kalah penting dengan perkara yang lainnya. Salah satunya yang berkaitan dengan para pendidik. Dimana diharapakan mampu mencetak generasi yang tak hanya cerdas dari sisi IPTEK, namun juga keterikatan kepada-Nya. Tentu untuk mewujudkan hal itu perlu adanya dukungan dari pihak berwenang. Salah satunya yang berkaitan dengan kesejahteraan para pengajar.
Sebagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp500.000 saja dalam satu dinar berarti setara dengan Rp2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp2.125.000, yaitu sebesar Rp31.875.000.
Sementara yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan dalam khilafah sepenuhnya oleh negara (Baitul Maal). Pos kepemilikan umum seperti tambang, hutan, minyak dan gas, serta laut. Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang berhubungan dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku pegangan, dan sebagainya.
Adapun sekolah penanggung jawabnya secara langsung oleh negara sendiri atau dibangun dan didanai oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang kaya di dalam komunitas yang berbagi tanggungjawab untuk mendidik generasi yang nantinya sebagai estafet peradaban.
Dengan demikian, pandangan Islam terhadap pendidikan dan para pendidik bertolak belakang dengan sekulerisme kapitalisme. Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia dan menempatkan para guru sebagai salah satu arsiteknya. Hal itu nampak dari perhatian sistem Islam terhadap pendidikan dan jaminan kesejahteraan para guru. Olehnya itu untuk mewujudkan hal tersebut, tiada lain selain kembali pada sistem Islam yang terbukti telah dapat mensejahterkan para pendidik. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Fitri Suryani, S.Pd
(Guru SMA Negeri di Kabupaten Konawe)
SUMBER