
PEMBAKARAN bendera bertuliskan Syahadat atau bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), bila dilihat dari kaca mata politik, tidak lain dari bagian dari pertarungan opini yang dilakukan oleh dua kelompok pendukung pasangan capres-cawapres, untuk memperebutkan suara pemilih Islam pada Pilpres 2019.
Vedi R. Hadiz yang banyak menulis tentang fenomena meningkatnya sentimen primordial (SARA) dalam dunia politik di Indonesia, menempatkan kasus seperti ini sebagai bagian dari gelombang besar yang melanda dunia secara keseluruhan tanpa kecuali termasuk Indonesia.
Fenomena seperti ini muncul disebabkan kemajuan teknologi informasi (IT), khususnya yang berbasis pada internet yang melahirkan berbagai bentuk aplikasi seperti twitter dan facebook.
Belakangan muncul aplikasi-aplikasi baru yang banyak diunduh dan dioperasikan lewat telpon genggam (HP), seperti WhatsApp (WA), Instagram, Line, Wechat dan sebagainya, yang membuat komunikasi antar individu maupun kelompok menjadi semakin cepat, mudah, dan murah.
Apalagi fitur-fitur yang ditawarkan perusahan pembuat aplikasi ini semakin hari semakin menawan. Kombinasi audio, video, tulisan, dan gambar, bahkan dapat diolah atau direkayasa sedemikian rupa, sehingga menimbulkan efek sensasi positif atau negatif terhadap tokoh atau partai tertentu sesuai dengan tujuan yang mengolahnya.
Hasil olahan yang lazim disebut "meme" ini kemudian disebarkan secara masiv oleh buzzer atau pasukan cyber (cyber army) yang dibentuk dan merupakan bagian dari tim sukses kandidat yang bekerja di bawah permukaan selama 24 jam. Terkadang diikuti oleh berbagai komentar provokatif yang memang ing emosi yang dibuat nya sendiri.
Bisa dibayangkan efeknya, karena ia langsung masuk ke wilayah emosi orang-perorang, sehingga lama kelamaan mereka yang termasuk kategori intelektualpun, kehilangan rasionalitasnya dalam menilai sebuah peristiwa.
Inilah realitas yang kini melanda hampir semua negara termasuk Amerika dan Eropa yang konon paling rasional dan paling dewasa dalam berdemokrasi. Terpilihnya Presiden Amerika Donald Trump yang memanfaatkan isu-isu rasial dan agama yang dengan sangat vulgar dan provokatif, akhirnya berhasil mengalahkan Hillary Clinton sang calon unggulan, merupakan contoh yang paling konkret fenomena yang secara teoritis disebut dengan populisme.
Walaupun strategi yang mengkombinasikan kemajuan teknologi dengan analisa politik berbasis big data seperti ini sudah terbukti keampuhannya, akan tetapi para ilmuwan politik sangat lamban menyadarinya, sehingga belum banyak landasan teoritis yang mengkaji secara mendalam masalah ini yang dapat dijadikan rujukan.
Sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim, Indonesia termasuk beruntung, disebabkan keterbelahan kelompok nasionalis vs Islam, atau kelompok sekuler vs religius, tidak separah negara-negara muslim lain, seperti Turki, Mesir, maupun Pakistan.
Kelompok-kelompok politik yang berbeda ini sudah lama saling mendekat, dan sudah terbiasa dalam bekerja sama. Itulah sebabnya, negosiasi dan kompromi (win win solution) merupakan pendekatan yang paling ideal dalam menyelesaikan masalah politik di Indonesia, bukan dengan pendekatan 'menang-kalah' (win lose).
Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, sejatinya merupakan puncak kompromi dari para tokoh bangsa (founding fathers) yang mewakili semua kelompok dan golongan, dalam meletakkan fondasi bangunan negara. Selanjutnya ia menjadi landasan yuridis formal dalam merumuskan berbagai kebijakkan negara di semua aspek dan tingkatan.
Meskipun demikian, kuatnya badai populisme tetap saja menggoyang dan menggoyahkan keharmonisan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pilkada DKI tahun lalu merupakan contoh paling segar dan nyata, bagaimana dahsyatnya pengaruh populisme di Indonesia.
Walau kebanyakan ilmuwan politik meyakini bahwa Indonesia berbeda dengan DKI, tetap saja kita harus waspada, dan setiap orang harus berusaha ikut meredakan ketegangan yang timbul, paling tidak selama masa kampanye, sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing.
Sebenarnya tugas kita tidaklah terlampau berat, mengingat separoh tugas itu sudah terselesaikan secara alamiah. PPP dan PKB, kemudian belakangan menyusul PBB, berada di barisan petahana yang diasosiasikan didukung oleh kelompok nasionalis sekuler. Karena itu warna relijius sudah terinjeksi sejak awal. Bobot religiusitasnya bertambah saat KH. Ma'ruf Amin dipilih sebagai cawapresnya.
Sementara dari kubu oposisi yang diasosiasikan didukung oleh kelompok nasionalis religius dengan bergabungnya PAN dan PKS, berkurang kekentalan religiusitasnya, dengan tampilnya Sandiaga Uno yang memiliki latar belakang pengusaha sebagai cawapres. Dengan demikian suara Islam sudah terbagi sejak awal.
Kemudian dua ormas Islam terbesar, yakni NU dan Muhammadiyah juga sudah memberikan konstribusinya dalam meredakan ketegangan yang ada, dengan mengambil posisi netral secara jam'iyah (organisasi), meskipun memberi keleluasaan bagi para kadernya untuk merapat ke salah satu kubu.
Karena itu, tugas yang tersisa sejatinya hanya menjaga kondusifitas yang ada, sembari membantu meredam efek para kandidat dan tim sukses masing-masing, yang terlihat sering off side karena terlalu bersemangat dalam berkampanye. [***]
Oleh: Dr. Muhammad Najib
Penulis Adalah Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
SUMBER