
NUSANEWS - Keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Mataram, atas tudingan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)oleh Baiq Nuril, guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram menuai polemic.
Pasalnya, dalam kasus ini, Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Mataram yang berinisial ‘M’. Sang pelaku dengan sengaja melakukan pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril lewat sambungan telpon pada medio 2012 lalu. Atas kejadian itu, Baiq Nuril bahkan dituding memiliki hubungan gelap dengan sang Kepala Sekolah.
Tak terima dengan tudingan itu, Baiq Nuril langsung merekam pembiraan dirinya dengan sang pelaku (Kepala Sekolah-red), dan kemudian diberikan kepada teman seprofesinya melalui pemindahan file rekaman lewat handpone dan leptop, bukan melalui media sosial atau sejenisnya. Langkah Baiq Nuril memberikan rekaman itu sebagai bukti, jika dirinya tidak memiliki hubungan gelap dengan Kepala Sekolah.
Tak terima dengan langkah tersebut, Kepala Sekolah lantas melaporkan Baiq Nuril ke pihak kepolisian dan sudah melewati persidangan di Peengadilan Negeri Mataram. Dalam putusan Pengadilan Negeri Matara, Baiq Nuril diputuskan tidak bersalah. Namun, JPU kembali melakukan kasasi ke MA, dan MA memutuskan Baiq Nuril bersalah dalam kasus ini.
Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Alhabsyi mengatakan, keputusan MA kepada Baiq Nuril ini sangat mengusik nilai keadilan masyarakat. Langkah Baiq Nuril merekam pembicaraan dengan Kepala Sekolah hanyalah upaya membela diri.
“Sepertinya apa yang menimpa Baiq Nuril di pengadilan sangat mengusik nilai keadilan masyarakat. Apa yang dilakukan dengan merekam percakapan yang bernuansa pelecehan, adalah bagian dari upaya dirinya untuk membela diri,” kata Alhabsyi kepada Fajar Indonesia Network lewat pesan singkatnya di WhatsApp, Jumat (16/11).
Namun, MA dengan cepat memutuskan Baiq Nuril bersalah dan dijadikan pelaku kejahatan. Padahal, tenaga guru honorer ini adalah korban dari aksi tidak terpuji Kepala Sekolah. “Namun kemudian dia dipersalahkan karena hal itu, seolah Baiq Nuril menjadi pelaku kejahatan, padahal sejatinya dirinya adalah korban yang harus dilindungi. Yang terlihat, pengadilan hanya sebagai corong dari pasal dalam undang-undang, tanpa mengindahkan makna keadilan itu sendiri,” ucap Slahabsyi.
Politisi yang karib disapa Habib itu menyayangkan putuan MA ini, karena putusan ini berpeluang membuat masyatakat makin apatis dengan penerapan keadilan di Indonesia. Pasalnya, lembaga keadilan dilihat dari ketidak-mampuan penegak hukum menghadirkan nilai keadilan di tengah-tengah masyarakat.
“Jangan sampai penanganan perkara Baiq Nuril membuat masyarakat semakin apatis dengan peradilan kita. Karena lembaga peradilan dilihat tidak mampu menghadirkan nilai keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat,” ujarnya.
Dikatakan Habib Alhabsyi, MA selaku lembaga peradilan harus menemukan keadilan yang substantifnya, hingga makna keadilan itu sendiri hidup dalam masyarakat, bukan hanya menafsirkan pasal per pasal dalam Undang-Undang. “Saya berharap, perkara ini dapat diurai dengan baik oleh MA. Lembaga peradilan ini harus mampu menemukan keadilan substantifnya, sehingga makna keadilan itu sendiri hidup dalam masyarakat,” harapnya.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh kuasa hukum Baiq Nuril, korban pelecehan yang saat ini berstatus tersangka akan dimasukan ke dalam penjara pada tanggal 21 November 2018 berdasarkan Surat Pengadilan Terdakwa, dalam rangka pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 574 K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018 sehubungan dengan perkara pidana atas nama terdakwa Baiq Nuril Maknun, untuk menghadap kepada: Jaksa Penuntut Umum.
SUMBER