
NUSANEWS - Jaringan Buruh Migran mencatat, eksekusi mati terhadap TKI Tuty Tursilawati merupakan eksekusi mati kelima dalam 10 tahun terakhir di Arab Saudi. Sementara per Maret 2018, Kementerian Luar Negeri menginformasikan ada 188 WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia.
Jumlah terbesar ada di Malaysia yakni 148 WNI, Arab Saudi 20 WNI, dan RRT 11 WNI. Khusus untuk Arab Saudi, ada 103 WNI yang divonis hukumanmati. Dari jumlah tersebut, 5 orang telah dieksekusi, 85 dibebaskan, dan 13 masih diupayakan pembelaan hukumnya.
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Boby Alwi menuturkan, dalam kasus Tuty Tursilawati, selama 8 tahun ini telah dilakukan pendampingan dan pembelaan hukum. Hal ini dilakukan bersama Migrant Institute serta pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi.
"Tindakan pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati Tuty merupakan pola yang sering kali terjadi terhadap PRT migran Indonesia. Padahal, ini merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina 1963. Di dalamnya memandatkan kewajiban terkait notifikasi resmi tertulis," katanya di Jakarta, kemarin. Apalagi pemerintah Arab Saudi juga sudah meratifikasi Konvensi Wina tersebut.
Menurut Boby, kasus Tuty dalam proses hukum di Arab Saudi dikategorikan sebagai pelanggaran Hadd Ghillah atau perbuatan pidana yang tidak bisa dimaafkan kecuali oleh Tuhan. Kasus ini juga tidak bisa dinegosiasikan menjadi kasus Qisas yang dapat dimaafkan atau dibayar dengan denda.
Sementara Tuty hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi. "Situasi kerja tidak layak, sistem kafaalah (upah) yang tertutup, adanya kebijakan yang belum melindungi buruh migran menjadi penyebab utama kasus ini," ungkapnya.
Berbagai kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM seperti penganiayaan, gaji yang tidak dibayarkan, pelecehan dan kekerasan seksual, kriminalisasi hingga berujung pada kematian, terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan dari buruknya situasi dan kondisi kerja di Arab Saudi. Ini diperparah dengan sistem kafaalah yang menganggap pekerja sebagai properti/barang milik majikan.
Padahal Indonesia pada 12 Oktober 2018, baru saja menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Arab Saudi mengenai Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel) dengan berbagai profesi. Yakni babysitter, family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper, dengan pilot project 30.000 pekerja yang diberangkatkan.
"Jaringan Buruh Migran melihat MoUini dibuat tanpa didiskusikan atau diinformasikan terlebih dahulu pada buruh migran dan organisasi masyarakat sipil," ujar Boby.
Pihaknya juga mempertanyakan apakah MoUantara Indonesia dan Arab Saudi sudah mengatur sampai pada tingkatan teknis intervensi majikan, ketika ada sengketa hubungan kerja dengan buruh migran. "Jika pemerintah tidak bisa melakukan intervensi ke dalam sengketa hubungan kerja, buruh migran dipastikan tidak mendapat perlindungan," imbuhnya.
Pengacara publik LBH Jakarta, Oky Wiratama mengatakan, perlu ada reformasi sistem kafaalah di Arab Saudi terhadap buruh migrant. Yang mana PRT migran adalah pekerja. Bukan Khaddaamah atau Ammat (budak perempuan). "Pemerintah Indonesia perlu mendesak Arab Saudi untuk mentaati hukum internasional. Yakni Konvensi Wina tahun 1963 tentang kekonsuleran," katanya.
Kepala Divisi Perlindungan Solidaritas Perempuan, Risca Dwi menambahkan, berdasarkan pengalaman pendampingan dan penanganan kasus perempuan buruh migrant, dapat disimpulkan perempuan yang bekerja di Arab Saudi sebagai PRT adalah korban perdagangan orang. ***
SUMBER