logo
×

Sabtu, 01 Desember 2018

Ini Dasar Reuni Akbar Mujahid 212 Disebut Gerakan Oposisi Politik

Ini Dasar Reuni Akbar Mujahid 212 Disebut Gerakan Oposisi Politik

NUSANEWS - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengatakan ada tiga aspek reuni akbar mujahid 212 dikategorikan sebagai gerakan oposisi politik, pertama historis, kedua, temporal (waktu), dan ketiga, diskursif (wacana/narasi).

Dari aspek sejarah, Boni menjelaskan, gerakan 212 bermula dari kasus “penistaan” agama yang dituduhkan pada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang pada tahun 2016 sedang berkampanye politik melawan pasangan Anies-Sandi. 

Ahok pada saat itu adalah pasangan terkuat dalam berbagai survei independen. Keadaan berbalik setelah Ahok menyebut ayat suci Al-Maidah yang menghina umat islam.

"Inilah titik masuk bagi lawan politik untuk menyerang secara sistematis dan pada akhirnya Ahok kalah dalam pemilihan yang digelar awal 2017," kata Boni dalam diskusi publik bertema ‘Reuni 212: Gerakan Moral atau Poltik?, di Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (1/12). 

Sejak saat itu, menurut dia, pengelompokan berdasarkan agama menjadi trend baru dalam politik nasional Indonesia.

Dengan menggunakan politik identitas menjadi dinamika yang tak terbendung. Dan tak dipungkiri, bahwa memang ini gejala global yang mewarnai politik mondial pada dekade kedua abad ke-21.

Namun, dikatakan Boni, di tempat lain di dunia, politik identitas selalu menjadi gerakan alternative dalam melawan ketimpangan dan ketidakadilan structural yang menjadi dampak langsung dari globalisasi dan politik liberal. 

Sementara di Indonesia, politik identitas berubah menjadi “politisasi identitas yang kebablasan” yang berbaur dengan metode black campaign meskipun di balut dengan istilah “negative campaign” atau kampanye negative.

"Para politisi tidak bisa membedakan mana kampanye negative yang berdasarkan fakta, dan mana kampanye hitam yang sejatinya fitnah dan kebohongan," ujarnya. 

"Dan politik identitas di Indonesia hari ini mengambil tempat dalam ruang gelap yang terbentang antara nafsu untuk berkuasa dan semangat menebar kebencian dan fitnah," tambah Boni.

Bahkan media sosial menjadi hutan rimba yang tidak mempunyai aturan main, sehingga orang ramai-ramai menabur fitnah dan kebencian. 

Lebih lanjut yang kedua, ketika pertama kali muncul di akhir 2016, gerakan aksi 212 masih memiliki dua warna, yaitu gerakan moral dan gerakan politik. Massa yang datang dari berbagai daerah tergerak oleh kerinduan untuk membela kesucian iman yang berlandaskan agama. 

Namun, pada saat yang sama, elite dari gerakan 212 ini yang berasal dari Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-Ulama) sebagian sudah menjadi tim sukses politik salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Singkatnya, reuni 212 adalah gerakan politik yang bercampur dengan gerakan moral keagamaan.

Dalam perkembangannya, terutama setelah Anies-Sandi menang pilkada DKI Jakarta, massa yang ideologis dari daerah mulai sadar dan meninggalkan kelompok GNPF-U tersebut. 

"Itulah sebabnya kenapa ada pentolan 212 yang mendeklarasikan diri sbagai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dan sebagian lagi meninggalkan gerakan, lalu kembali pada rutinitas hidup karena enggan berpolitik," ucapnya. 

Kemudian, ada sedikit yang bertahan yang terus memperjuangkan misi politik yang dirancang dari awal, yaitu ingin memperjuangkan calon presiden yang sesuai dengan haluan politik mereka dengan menandatangani pakta integritas. 

"Dari segi waktu, 212 yang semakin aktif menjelang pemilu 2019, berdasarkan apa yang kami amati, menunjukkan bahwa komunitas 212 memang telah menjadi gerakan kampanye politik yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni," paparnya.

Pengamat politik ini menilai,   eskalasi gerakan yang seiring dengan momen kampanye politik yang semakin mendekati waktu pemilihan 2019 itu mensinyalir bahwa reuni 212 sebagai gerakan oposisi yang bertujuan meraih kekuasaan.

Bahkan akal sehat public bisa membuat kesimpulan jelas bahwa manuver politik 212 telah menguntungkan oposisi.

"Mari kita uji terbalik, dengan logika falsifikasi popperian, misalnya. Tanyakan pada pasangan Prabowo-Sandi, apakah mereka bisa menjelaskan dan memberikan bukti empiris bahwa reuni 212 tidak menguntungkan perjuangan politik oposisi," tuturnya. 

Selanjutnya, yang ketiga, narasi yang dibangun oleh elite PA (Persaudaraan Alumni) 212, kalau diperhatikan propaganda mereka di media sosial dan di media mainstream, merupakan narasi kekuasaan.

"Wacana yang diangkat pada umumnya adalah kritik dan serangan terhadap pemerintah dan institusi Negara yang saat ini bekerja," tegasnya.

Alhasil, lanjut dia, reuni 212 telah menjadi gerakan oposisi politik yang ingin memperjuangkan kekuasaan dan menghendaki pemerintahan Presiden Jokowi berakhir pada pilpres 2019.

Dengan kata lain, reuni 212 yang akan digelar esok merupakan murni oposisi politik untuk melawan pemerintahan saat ini. Gerakan 212 telah menjadi bagian dari kekuatan kampanye politik yang melawan pemerintahan Jokowi dan dengan sendirinya menguntungkan kubu Prabowo-Sandi.


SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: