logo
×

Sabtu, 07 September 2019

ANALISIS: Revisi UU KPK dan Taruhan Besar di Tangan Jokowi

ANALISIS: Revisi UU KPK dan Taruhan Besar di Tangan Jokowi

DEMOKRASI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 'diam-diam' telah menyetujui draf rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pada 3 September lalu.

Kemudian rancangan itu juga langsung disetujui seluruh fraksi menjadi inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna, kemarin Kamis (5/9). Tak ada penyampaian pandangan masing-masing fraksi secara terbuka, dan hanya diberikan secara tertulis saja kepada pimpinan Rapat Paripurna.

Dan, setelah RUU perubahan UU KPK itu disepakati, DPR langsung mengirimkan draf tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno mengatakan pihaknya saat ini menunggu respons Jokowi dalam bentuk surat presiden (surpres) serta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

"DPR mengirim RUU tersebut kepada Presiden untuk direspons dalam bentuk dikeluarkannya surpres beserta DIM," kata Hendrawan kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9).

Suka tidak suka, bola panas rencana revisi UU KPK saat ini sudah berada di tangan Jokowi

Di satu sisi, langkah DPR mengusulkan revisi UU KPK langsung mendapat penolakan dari sejumlah pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil seperti ICW sampai lembaga antirasuah itu sendiri.

Mereka menyoroti sejumlah poin krusial dalam rancangan UU KPK yang telah beredar. Poin-poin pokok dalam draf perubahan itu antara lain: keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK. Kemudian kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, serta posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril mengatakan rencana revisi UU KPK ini menjadi pertaruhan bagi Jokowi. Dalam tata hukum di Indonesia, produk perundang-undangan dikerjakan bersama oleh legislatif dan eksekutif. Jika salah satu pihak tak sepakat, rencana itu bisa dibatalkan.

"Jadi jika dua kekuasaan ini bersekongkol untuk memperlemah KPK maka usul DPR akan jalan terus. Kita berharap kepada pemerintah supaya jangan bersekongkol dengan gagasan seperti ini," kata Oce kepada CNNIndonesia.com, Jumat (6/9).

Presiden Joko Widodo bertemu seluruh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Istana Bogor, 5 Juli 2018. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Oce menyatakan draf revisi UU KPK yang telah disusun DPR itu sangat berbahaya bagi kelangsungan KPK maupun pemberantasan korupsi di Indonesia. Di matanya, pada draf tersebut tak ada poin-poin untuk memperkuat KPK. Sebaliknya, Oce menilai isi draf perubahan tersebut malah melumpuhkan kewenangan lembaga antirasuah yang telah berdiri selama 16 tahun ini.

Oce kemudian menyebutkan beberapa poin yang melemahkan kewenangan KPK. Pertama terkait keberadaan dewan pengawas (dewas). Oce berpendapat tugas dewas yang tertulis dalam draf revisi UU KPK hanya memangkas peran pimpinan KPK.

Ia merinci beberapa kewenangan dewas yang bisa melemahkan KPK yaitu soal pemberian izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, sampai melaporkan perkara yang belum selesai dalam kurun waktu satu tahun. Pada draf revisi UU KPK, dewas diatur dalam BAB VA. Ketentuan tentang anggota dewas, fungsi, hingga tata cara pemilihan tertuang dalam Pasal 37A sampai 37G. Dewas itu juga menggantikan keberadaan penasihat KPK.

"Dewan Pengawas itu akan bisa menghambat, akan bisa memperlemah, melumpuhkan kewenangan-kewenangan inti dari KPK, terutama kewenangan dalam penindakan," tuturnya.

Selanjutnya, Oce menyoroti perubahan status pegawai tetap KPK menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Poin tersebut tertuang dalam Pasal 1 angka 7 draf revisi UU KPK.

Menurutnya, perubahan status pegawai ini akan membuat para penggawa KPK menjadi tidak independen dan rawan intervensi dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, Oce juga menyoroti posisi KPK yang nantinya akan berubah menjadi lembaga pemerintah pusat.

"Kita tahu sendiri di KPK itu kan banyak kasus yang terkait dengan pemerintahan. Jadi kalau KPK di bawah pemerintah ini sama saja bohong," kata pria yang menjadi doktor lewat disertasi bertajuk Politik Hukum Presiden dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan pada 2018 silam.

Oce pun berharap Jokowi konsisten seperti sikap sebelumnya yang menolak membahas revisi UU KPK. Jokowi diketahui pernah menolak melanjutkan pembahasan revisi UU KPK pada tahun lalu. Sikap tersebut, kata Oce, yang seharusnya diambil kembali oleh mantan wali kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu.

"Jadi saya kira sekarang harus konsisten. Apalagi ini kan sekarang presiden belum dilantik, kemudian terpilihnya belum lama, janji politik masih basah," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang bersama ratusan pegawai KPK menggelar aksi menolak revisi UU 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Jakarta, 6 September 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jadi Bom Waktu

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar mengatakan DPR periode 2014-2019 sedang meninggalkan bom waktu dengan mengusulkan revisi UU KPK bagi anggota dewan periode 2019-2014. Ia pun menyarankan agar DPR periode selanjutnya menarik usulan revisi aturan ini.

"DPR berikutnya harus menolak revisi ini. DPR yang akan habis ini benar-benar meninggalkan bom waktu," kata Ficar kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, pakar hukum pidana itu juga mengatakan Jokowi harus tegas menolak usulan perubahan UU KPK yang diusulkan DPR. Ia mengimbau agar Jokowi tak seperti masalah seleksi calon pimpinan KPK yang tidak memperdulikan aspirasi masyarakat.

"Menurut saya jangan main-main dengan aspirasi masyarakat, pasti akan ada akibat sosiologis dan yuridisnya," tuturnya.

Ficar mengatakan perubahan itu akan membuat KPK tidak progresif memberantas korupsi, khususnya di bidang pendidikan. Sementara untuk pencegahan sudah menjadi tugas bersama KPK dengan lembaga lainnya.

"Rencana perubahan UU KPK bukanlah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena masyarakat sendiri telah menolak rencana perubahan itu," katanya.

Di dalam tubuh KPK, dari mulai komisioner hingga pegawainya pun mengeluarkan reaksi yang sama.

Salah satu waktu yang menggambarkan suasana di ruang Rapat Paripurna DPR. (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra)

Para pegawai lembaga antirasuah mengadakan aksi menolak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Jumat (6/9) petang. Salah satu perwakilan pegawai KPK Henny Mustika sari mengatakan kehadiran KPK sebagai 'pembeda' adalah dengan dilahirkannya UU KPK. UU itu dibuat guna memastikan KPK tetap independen. Menurutnya tanpa hadirnya hal tersebut KPK telah mati.

"Presiden Abdurahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarno Putri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," ujar Henny saat berorasi di lobi Gedung KPK, Jakarta Selatan.

Sementara itu, lima komisioner KPK membubuhkan tanda tangan pada surat kepada Jokowi dengan isi terkait penolakan perubahan UU KPK tersebut.

"Surat kita akan kirim kepada presiden, mudah-mudahan untuk dibaca untuk kemudian mengambil kebijakan," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Saut mengatakan revisi UU KPK tidak sejalan dengan Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia. Dalam konvensi itu, kata Saut, ditegaskan Indonesia harus memiliki lembaga khusus anti korupsi, yang pelaksanaannya diatur secara khusus dan independen dalam Undang-Undang Tipikor.

CNNIndonesia.com mencatat setidaknya sejak 2010 silam DPR telah berambisi melakukan perubahan UU KPK. Pada saat itu, setelah pergulatan wacana sejak Komisi III DPR merencanakan revisi UU KPK pada 2010, upaya itu dinyatakan berhenti pada Oktober 2012.

Pada 16 Oktober 2012, Panitia Kerja (Panja) yang dipimpin R Dimyati Natakusuma memutuskan menghentikan pembahasan RUU KPK. Alasannya kala itu, DPR memilih mendengarkan suara rakyat.

Namun, pada Februari 2015, lewat surat keputusan bertandatangan ketua DPR kala itu Setya Novanto mengenai Prolegnas 2015-2019 dan Prolegnas RUU Prioritas 2015 tercantum revisi UU KPK di nomor urut 63 atas usulan DPR.

Selanjutnya, pada 19 Juni 2015, Jokowi memilih membatalkan rencana RUU KPK itu. Namun, pada bulan yang sama justru DPR memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas hingga kini ketika para anggota dewan telah setuju untuk membahasnya serta mengirim draf ke pemerintah.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: