DEMOKRASI.CO.ID - Indeks ketahanan pangan Indonesia di tingkat global semakin membaik selama 4 tahun terakhir. Namun sayangnya, stok pangan tersebut disokong oleh impor yang meningkat tiap tahunnya.
Ekonom senior CORE Indonesia, Dwi Andreas Santosa menerangkan, naiknya peringkat ketahanan pangan Indonesia terjadi sejak tahun 2016 hingga 2019 yang lalu.
"Mulai tahun 2016 terjadi peningkatan indeks ketahanan pangan Indonesia. Dan sekarang ini, pada tahun 2019 yang lalu kita posisi 62. Dari sisi ketahanan pangan kita baik-baik saja," ujar Dwi Andreas dalam diskusi daring yang diselenggarakan Epic Talk dengan tajuk "Covid19: Krisis Beras di Depan Mata", Selasa (23/6).
Sebelumnya, gurubesar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mencatat, tahun 2013 posisi Indonesia berada di rangking 70 dunia dari 113 negara, terkait ketahanan pangan. Lalu 2014 turun ke rangking 73, dan 2015 turun lagi ke rangking 75.
Namun hingga bulan Maret tahun ini, tingkat persediaan beras dari total penggunaan komoditas (stock to use ratio) berada di posisi 30,9 persen, atau terbilang aman jika dibanding periode yang sama ditahun sebelumnya yang rata-rata berada dikisaran 15-25 persen maksimum.
"Jadi tidak ada kekhawatiran krisis pangan," tegasnya.
Akan tetapi, konsep ketahanan dunia berdasarkan rangking ini tidak melihat sumber pangan tersebut diperoleh. Dalam arti, kebutuhan pangan yang mencukupi dihitung berdasarkan produksi di dalam negeri dan juga impor.
Berdasarkan kajian Dwi Andreas, ketahanan pangan yang ada di Indonesia kebanyakan bersumber dari impor, yang sejak 2014 hingga 2018 terus mengalami kenaikan untuk 8 komoditas bahan pokok, termasuk beras di dalamnya.
Data 2014, impor pangan kita masih sekitar 21,9 juta ton. Lalu kemudian meningkat terus sampai diposisi tertingginya tahun 2018 di 27,6 juta ton. Jadi dalam tempo yang amat singkat, selama periode pemerintah sekarang impor pangan meningkat 6 juta ton," katanya.
"Jadi ketahanan pangan kita, kalau melihat data seperti ini, perbaikan pangan kita itu karena peningkatan impor. Ini yang perlu menjadi catatan keras bagi kita semua," demikian Dwi Andreas menutup. (Rmol)