OLEH: RUSLAN TAMBAK
Presiden Joko Widodo membuka wacana untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Wacana itu disampaikan ke DPR. Dan pihak Parlemen memberikan respon positif.
Semua fraksi di Parlemen tidak keberaran dengan wacana revisi UU ITE tersebut.
Hanya saja, partai politik oposisi mengingatkan, revisi UU ITE harus diikuti political will pemerintah dan aparat.
Sebab, sesempurna apapun regulasi, penindakan yang represif dan tidak terukur dari aparat, bisa menumbuhsuburkan kriminalisasi.
Jadi, tanpa political will dari pemerintah dan aparat, revisi UU ITE hanya sebatas wacana.
Tidak akan memberikan manfaat khususnya dalam mencegah terjadinya kriminalisasi.
Dan tanpa political will, kebebasan berpendapat dan mengekspresikan kritik juga tidak akan kunjung didapat.
Dan akhirnya, rasa keadilan masih menjadi barang yang mahal dan langkah.
Selain itu, agar tidak jadi bualan politik, membuka pintu kritik lewat revisi UU ITE harus dibarengi oleh pembebasan tahanan politik.
Yaitu, tahanan politik yang dijerat dengan "kriminalisasi" pasal-pasal karet di dalam UU ITE.
Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat dan lain sebagainya harus dibebaskan.
Terakhir, jangan sampai revisi UU ITE ini hanya merupakan permainan politik.
Misalnya, hanya untuk meningkatkan angka-angka indeks demokrasi.
Ingat, merosotnya indeks demokrasi kita tidak akan selesai dengan revisi UU ITE, tapi harus benar-benar menegakkan rasa keadilan dan kedamaian. []