logo
×

Jumat, 29 Juli 2022

Mantan Kadensus 88 Sebut Bharada E Punya Kekuatan Sakti, Melebihi Jenderal!

Mantan Kadensus 88 Sebut Bharada E Punya Kekuatan Sakti, Melebihi Jenderal!

DEMOKRASI.CO.ID - Mantan Kadensus 88 Antiteror Polri, Irjen Pol (Purn) Bekto Suprapto menyebut Bharada E sebagai sosok yang sangat sakti karena kekuatannya bisa melebihi jenderal.

Ia meyakini bahwa Bharada E punya daya tarik yang paling tinggi dalam kasus tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J.

Bharada E disebut Bekto sebagai orang yang paling punya kekuatan tinggi dalam kasus ini dan paling sakti.

Hal tersebut disampaikan Bekto Suprapto saat berbincang-bincang dengan Mantan Kadiv hukum Polri, Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi dan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri), Susno Duadji dalam video yang diunggah lewat kanal YouTube Polisi Ooh Polisi, Kamis 28 Juli 2022.

"Bharada E ini terkesan sebagai sosok yang paling menarik perhatian," kata Bekto Suprapto.

"Bahkan tokoh yang paling kuat, paling sakti. Dianggap melebihi jenderal kekuatannya," ucapnya menambahkan.

Selain dianggap sebagai sosok sakti, Bharada E juga dinilai layaknya seseorang yang sangat misterius.

Mantan Kadiv hukum Polri, Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi mengungkapkan bahwa sebenarnya sosok Bharada E ini mampu membuat pemberitaan menjadi sangat booming saat ini.

"Lebih hebatnya lagi, kemarin dia (Bharada E) menghilang. Eh sekarang datang lagi, dia datang ke Komnas HAM dikawal sama banyak polisi," pungkas Aryanto Sutadi.

"Yang dikawal kan cuma jenderal. Berarti dia melebihi jenderal. Ada perwira lagi yang mengawal. Mungkin besok-besok dia bisa jadi saksi, jadi tersangka atau nggak jadi. Makanya itu kenapa dia disebut sakti," lanjutnya.

Meski tidak pernah mendengar adanya kabar Bharada E diperiksa, tetapi Aryanto meyakini bahwa sosok yang diduga telah membunuh Brigadir J itu sudah dilakukan pemeriksaan oleh pihak kepolisian.

Akan tetapi dia merasa ada keanehan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak diungkap secara publik dengan alasan dapat mengganggu proses penyelidikan.

"Bharada E pasti sudah diperiksa penyidik maupun tim khusus yang dibentuk Kapolri. Kenapa? Keterangan dia bilang membela diri lalu menembak lima kali dari siapa kalau bukan keterangan saksi," tutur Aryanto.

"Cuma oleh polisi tidak dipublis. Karena itu dianggap bisa mengganggu jalannya penyidikan. Itu lucunya. Alasannya kan sering begitu polisi," sambungnya.

Lebih lanjut, Aryanto menganggap Bharada E lebih sakti karena para jenderal saja sudah dinonaktifkan statusnya, tetapi justru dia belum dilakukan penindakan apapun.

"Tiga perwira itu nonaktif untuk menghilangkan hambatan psikologis. Tapi kalau Bhadara E mau dinonaktifkan atau mau dipecat nggak ada pengaruhnya terhadap penyidikan ini." tutupnya.

Sebelumnya, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan bahwa polisi telah melanggar beberapa aturan dalam berupaya mengungkap kasus tewasnya Brigadir J.

Bambang meyakini bahwa ada beberpaa aturan dasar yang jelas dilanggar dalam mencoba memecahkan misteri tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat di rumah Kadiv Propam Ferdy Sambo.

Aturan yang dilanggar yakni ada tempat kejadian perkara (TKP) dan terkait pelaksanaan prarekonstruksi.

Satu lagi ada yang berkiatan erat dengan penggunaan senjata api bagi personel Polri yang bertugas sebagai ajudan atau pengawal perwira tinggi.

"Itu beberapa Peraturan Kapolri (Perkap) yang dilanggar," ucap Bambang, Kamis (28/7/22).

Kasus ini juga menjadi geger karena adanya salah langkah dri tindakan dan juga pernyataan-pernyataan yang disampaikan Polri.

Langkah yang dimaksud yakni adanya tindakan pengambilan CCTV, karena disebut telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009.

Kemudian polisi juga dianggap salah karena terus menerus menunda pengumuman kepada publik, mengalihkan isu dari penembakan menjadi pelecehan seksual.

Lanjut, tidak menghadirkan tersangka penembakan dan kejanggalan-kejanggalan yang tidak diterima nalar publik.

Seluruh kejanggalan-kejanggalan yang terjadi disebutnya telah disebabkan oleh ksemua kejanggalan itu bermuara pada ketidakpercayaan kepada institusi Polri.

"Kita apresiasi langkah yang diambil Kapolri, meski agak terlambat dan seolah menunggu desakan publik. Ke depan harapannya bukan hanya penonaktifan Kadiv Propam, tetapi juga semua jajaran yang terlibat dalam upaya-upaya menutupi kasus ini hingga tiga hari baru diungkap ke publik," tuturnya.

"Berdasarkan ketentuan di atas, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan," sambung Bambang. [disway]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: