![]() |
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) bersama Menteri Luar Negeri Palestina Riad Al Maliki memberikan pernyataan usai melakukan pertemuan di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (14/12). (Antara/Hafidz Mubarak A.) |
Koalisi militer pimpinan Arab Saudi yang beranggotakan 34 negara dinilai sebagai koalisi penting untuk memerangi terorisme. Ia menilai Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menyerang semua orang, tidak hanya Yahudi, Kristen, tapi juga Muslim, semua pihak. Menurut Hadid, ISIS memiliki interpretasi berbeda tentang Islam.
"Ini adalah sesuatu yang harus disadari oleh komunitas internasional sehingga terorisme harus dilawan bersamaan, ditindak secara kolektif," kata Hadid dalam forum diskusi yang digelar Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rabu (16/12).
Ia menyayangkan ketidakikutsertaan Indonesia dalam koalisi yang diresmikan Saudi pada Selasa (15/12). Hadid mengatakan, Indonesia adalah negara yang unik. Negara dengan mayoritas Islam, tapi bisa mempromosikan kedamaian.
"Menjadi bagian dari koalisi yang positif itu bagus," katanya.
Duta besar Tunisia untuk Indonesia Mourad Belhassen juga menyuarakan hal yang sama. Menurutnya, koalisi militer pimpinan Arab Saudi ini bukan merupakan bagian dari proxy war.
Koalisi ini juga bukan interpretasi dari perang antara Suni dan Syiah. Mengingat Iran tidak ikut serta. "Ini Saatnya negara Muslim ikut ambil bagian," kata dia. Perang melawan ISIS dinilai sebagai perang internasional.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menegaskan sebelumnya bahwa Indonesia menganut paham bebas aktif dalam hubungan internasional. Mengikuti koalisi militer juga dinilai tidak sesuai dengan hukum di Indonesia.
Sebelumnya, negara-negara Barat menyambut baik pembentukan koalisi. Namun, mereka dan negara anggota koalisi sendiri masih belum memahami peran koalisi.
"Kami menanti untuk mempelajari apa gagasan Arab Saudi mengenai koalisi ini," ujar Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ash Carter, Selasa.
Komentar yang sempat bocor dari sejumlah negara penanda tangan koalisi menunjukkan Saudi belum siap dengan konsep koalisinya. Awalnya, Saudi mendekati rekan-rekan koalisi untuk membentuk pusat koordinasi. Namun, kemudian Saudi ternyata mengumumkan sebuah aliansi militer.
Kebingungan ini juga dialami Indonesia yang awalnya diajak untuk membentu pusat koordinasi, seperti dituturkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, Selasa. Indonesia pun terkejut ketika Saudi malah mengumumkan pembentukan aliansi.
Seruan al-Azhar
Lembaga al-Azhar yang berbasis di Kairo, Mesir, menyerukan agar negara-negara Muslim bergabung dengan aliansi anti-terorisme 34 negara pimpinan Saudi.
"Al-Azhar meminta semua negara Islam untuk bergabung dalam koalisi ini untuk melawan terorisme yang telah melakukan kejahatan yang mengerikan tanpa pandang bulu,'' kata al-Azhar, dalam pernyataan yang dikutip Arab News, Rabu (16/12).
Menurut al-Azhar, adanya aliansi ini sebagai permintaan mendesak rakyat di negara-negara Islam yang telah menderita lebih berat dari yang lain akibat kejahatan terorisme. Pihaknya berharap aliansi ini akan mengalahkan terorisme.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Abu Zaid mengatakan, negaranya telah mendukung aliansi karena dibentuk oleh negara-negara Arab dan Muslim dengan tujuan memerangi kelompok teroris.
Analis militer Ibrahim Al-Marai mengatakan kepada sebuah koran lokal di Arab Saudi bahwa banyak negara telah memutuskan untuk bergabung dengan aliansi karena keberhasilan pasukan koalisi Arab di Yaman.
"Jelas aliansi akan beroperasi pada bidang militer dan lainnya, waspada melanggar kedaulatan negara lain, atau dilihat sebagai agresor,'' ujarnya.
Tujuannya adalah untuk mencapai keamanan dan stabilitas global dalam kemitraan dengan pihak lain. Kelompok militan ISIS yang telah meluncurkan serangan terhadap beberapa sasaran Barat dalam beberapa bulan terakhir juga telah mengeluarkan peringatan untuk negara-negara Teluk. Sebelumnya, ISIS melakukan serangkaian serangan terhadap masjid dan pasukan keamanan di Kuwait dan Arab Saudi.(ro)