![]() |
Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri di Rakernas PDIP. | ANTARA FOTO |
Bantahan itu dilakukannya dengan unjuk bukti ketegasannya mengeksekusi mati 14 bandar narkoba selama setahun, saat dirinya memberikan pidato sambutan pada acara pembukaan Rakernas ke 43 PDI Perjuangan di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Minggu (10/1/2016).
Alih-alih mendapat pujian, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik tindakan Jokowi tersebut.
KontraS justru menilai aneh Jokowi mengumbar tindakan kekasarannya menghilangkan nyawa manusia di hadapan umum.
“Sarkastik! Menyebutkan diri sebagai pemberani kok untuk ambil nyawa orang,” ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar di Jakarta, Senin (11/1/2015).
Haris lantas menantang Jokowi untuk membuktikan keberanian yang sesungguhnya. Ia berharap Jokowi tampil berani mengungkap kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang disebut-sebut melibatkan sejumlah pendukungnya pada Pilpres 2015.
“Berani tidak Jokowi mendorong agar pengadilan bisa mengadili Hendropriyono karena kasus Talangsari 1987? Berani tidak periksa Megawati untuk kasus BLBI? Usut kasus darurat militer di Aceh berani tidak? Kalau Jokowi terima tantangan ini, barulah pantas menyebut dirinya sebagai Presiden yang tidak bisa diintervensi dan pemberani,” ungkapnya.
Haris mengatakan bahwa persentasi unjuk keberanian mengeksekusi mati narapidana narkoba pada saat Rakernas PDI Perjuangan merupakan pencitraan. Ia menuding Jokowi mengeksploitasi pengalaman eksekusi mati narapidana tersebut untuk mendapatkan simpati khalayak.
“Sudah tidak ada yang bisa dijual, lalu kasus hukum mati yang dijual. Presentasi kemarin itu sangat tidak logis. Awalnya berbicara tentang keberanian dalam persoalan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), kok indikatornya soal hukuman mati, kan aneh. Persoalan MEA itu tentang persaingan SDM, usaha dan ekonomi. Kemudian menyinggung hukuman mati. Pernyataan yang sangat ngawur itu, malah eksekusi mati yang pelaksanaannya terkesan digembar gemborkan Jaksa Agung telah berperan mencoreng nama baik Bangsa Indonesia dimata Internasional,” paparnya.
Menilai pidatonya tidak sistematis, Haris menyarankan Jokowi agar lebih dulu konsultasi kepada para ahli sebelum menyampaikan presentasi di forum-forum nasional. Menurutnya, cara tersebut demi mengantisipasi Jokowi tidak memalukan dirinya sendiri.
Hukuman mati, kata Haris, bukan prestasi monumental yang mesti dibangga-banggakan seorang Presiden.
“Hukuman mati bukan tolak ukur prestasi atau keberanian seorang Presiden ataupun Jaksa Agung sebagai eksekutor. Banyak-banyak mendengar para ahli lah. Biar tahu pengetahuan dari setiap isu,” pungkasnya. (ts)