
NBCIndonesia.com - Front Pancasila serta beberapa ormas menolak Simposium Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang rencananya dilaksanakan 18-19 April 2016. Alasannya, simposium tersebut bertentangan dengan pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No XXV/MPRS Tahun 1966 tentang Larangan Partai Komunis Indonesia.
Juru bicara Front Pancasila, Alfian Tanjung menuturkan, simposium ini sama saja menghidupkan kembali PKI di bumi pertiwi. Dengan ormas lainnya pihaknya akan melakukan berbagai cara untuk menggagalkan simposium tersebut.
"Akan diadakan aksi di dekat Tugu Tani untuk menggagalkan acara simposium karena bertentangan dengan UUD yang berlaku," ujarnya saat melakukan konferensi pers di Graha 66, Sabtu (16/4).
Aksi yang berlangsung 18 April ini akan diikuti sejumlah ormas yang menentang bangkitnya kembali paham komunisme di tanah air. Semisal Brigade PII, Angkatan muda Muhammadiyah, Himpunan Mahasiswa Islam (HI). "Maupun gerakan-gerakan dari kaum patriot yang dikenal sebagai aliansi antikomunis," jelasnya.
Pihaknya mengaku sudah mengantongi izin dari kepolisian maupun aparat yang terkait. "Untuk mempertegas kepada siapa pun bahwa aksi ini legal," tutupnya.
Sebelumnya, Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila dan Kepolisian membubarkan persiapan simposium nasional di Bogor, Kamis (14/4). Puluhan orang yang tergabung Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) dievakuasi di Kantor LBH, Jakarta.
"Iya benar tadi mereka dibubarkan, kini mereka butuh tempat perlindungan. Mereka juga butuh logistik untuk makan dan tidur," kata anggota LBH Jakarta Dodo saat dihubungi merdeka.com, Kamis (14/4).
"Pertemuan tersebut digerebek dan dibubarkan oleh FPI, PP (Pemuda Pancasila) dan kepolisian. Akhirnya bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah sepuh tersebut harus berpindah tempat. Mereka memutuskan untuk sementara tidur di LBH Jakarta," imbuhnya.
Untuk diketahui, panitia simposium nasional akan membahas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tahun 1965 di Hotel Arya Duta Jakarta, pada 18-19 April besok. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidarto Danusubroto mengatakan, dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) penanganan kasus pelanggaran HAM memerlukan perlakuan khusus.
"Kami berharap simposium nasional ini bisa menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran HAM berat dalam tragedi kemanusiaan 1965. Mulai dari konsep pemulihan korban sampai rehabilitasi korban dan lainnya," kata Sidarto saat jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (13/4).
Menurut dia, simposium nasional ini bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara adil, jujur dan beradab. Pihaknya juga akan mengundang keluarga korban, aktivis HAM, TNI-Polri dan pemerintah dalam simposium nasional ini.
"Simposium adalah betul-betul terobosan kita bersama. Generasi ini punya utang sejarah dan jangan sampai kita wariskan. Dan kita harapkan bisa diselesaikan di generasi kita," kata dia.
Acara ini akan dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai kalangan yakni Partai Politik, tokoh atau pegiat HAM, kalangan akademisi, eks PKI, TNI-Polri, organisasi masyarakat, keluarga korban dan perwakilan pemerintah. Selain itu, narasumber acara ini yaitu Buya Syafii Ma'arif, Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Taufik Abudllah, Todung Mulya Lubis, Letjen (Purn) Agus Widjojo, Kamala Chandrakirana, dan Ketua PB NU KH Marsudi Suhud.
"Kepantiaan ini atas kerja sama 10 institusi yaitu FISIPOL UGM, Universitas Udayana, Universitan Islam Negeri Sunan Kalijaga, Komnas HAM, Wantimpres, Kemenko Polhukam, Dewan Pers, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Univesitas Islam Indonesia, dan Institute For Peace and Democracy," kata dia. (mdk)
Laporan: Firdamsyah Ramadhan