logo
×

Senin, 23 Mei 2016

Sony Koko Pemerkosa 54 Anak Dibawah Umur Cuma Divonis 9 Tahun Penjara Dinilai Tidak Adil

Sony Koko Pemerkosa 54 Anak Dibawah Umur Cuma Divonis 9 Tahun Penjara Dinilai Tidak Adil

Nusanews.com - Sony Sandra (63), pengusaha asal Kediri, terdakwa pemerkosa 54 anak di bawah umur divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 250 juta pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Kediri, Kamis (19/52016).

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menilai putusan tersebut tidak sebanding dengan trauma yang dialami korban.

"Saya ketemu seorang anak yang menjadi korban dia, tapi anak itu tidak menjawab apa-apa, sepertinya dia mengalami trauma cukup mendalam, karena itu saya kira KY perlu turun," katanya di sela meresmikan pembukaan Pesantren Kota "Khadijah" (Putra) di Wonokromo, Surabaya, Minggu (22/5/2016).

Khofifah meminta Komisi Yudisial (KY) untuk turun mengecek vonis sembilan tahun dan denda Rp 250 juta yang diberikan kepada Sony Sandra.

"Kalau UU Perlindungan Anak memberi sanksi maksimal 15 tahun dan denda Rp 5 miliar, tapi hanya kena sembilan tahun dan denda Rp 250 juta, tentu tidak sebanding dengan trauma yang dialami puluhan anak yang menjadi korban," kata Khofifah yang juga ketua umum Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU (YTPSNU) Surabaya.

Sesungguhnya, kata dia, jika korban anak-anak dan bisa timbul trauma yang dalam dan berjangka panjang, maka pelaku bisa mendapat pemberatan seumur hidup dan hukuman mati.

"Jika korban tidak satu anak, maka bisa ditambahkan hukuman kebiri kimiawi, alat deteksi elektronik atau publikasikan identitas," kata Mensos yang juga Ketua Umum PP Muslimat NU itu.

Tanggapan KY

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Yudisial Farid Wajdi meminta masyarakat tidak berprasangka negatif kepada lembaga hukum di dalam negeri terkait vonis 9 tahun penjara terhadap Sony Sandra.

Farid meminta masyarakat memperhatikan setiap hal dalam kasus tersebut. Jika ada pelanggaran etik oleh hakim, maka masyarakat berhak melaporkan ke KY.

"Kepada siapa pun yang mencermati kasus ini untuk menggunakan jalur yang tersedia melalui upaya hukum. Proporsionallah dalam memandang hasil putusan pengadilan, tidak terlalu prejudice terhadap majelis, namun tetap waspada jika terdapat pelanggaran kode etik," kata Farid melalui pernyataan tertulis, Minggu (22/5/2016).

Ia menjelaskan, seluruh materi dalam persidangan suatu perkara merupakan otoritas hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan.

Namun, kewenangan tersebut tidak harus menjadikan hakim mengenyampingkan independensinya dan menjadi tempat berlindung bagi pelaku kejahatan.

"Independensi hakim harus terjaga dari segala intervensi. Independensi itu tentu harus diimbangi dengann akuntabilitas hakim," ujar Farid.

Sebaliknya, hakim juga tidak boleh membuat kasus yang ditanganinya menjadi kedap atau buta terhadap rasa keadilan di masyarakat. (kp)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: