
IDNUSA - Kicauan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah tentang pekerja Indonesia di luar negeri memancing sindiran dan kecam dari banyak netizen.
Kemarin (Selasa, 24/1), Fahri melalui akun pribadinya twitter @fahrihamzah menuliskan "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela".
Legislator PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka justru mengajak publik memahami maksud dari kicauan Fahri tersebut.
"Sebagian marah dan mengecam. Tapi, mari kita lihat arti kata babu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia," ujar Rieke dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Rabu (25/1).
Rieke pun menjelaskan, dalam kamus, "babu" artinya orang yang bekerja sebagai pembantu dalam rumah. Ada babu cuci, babu masak dan sebagainya.
"Upah terserah yang memberi, jam kerja juga terserah majikan, tawar-tawaran pun tidak dijamin norma hukum, jadi kalau dilanggar pun tak ada sanksi bagi yang melanggar, bisa diberhentikan kapan saja, tanpa pesangon. Ada majikan yang baik, itu untung-untungan, bukan karena ada perlindungan hukum yang memperlihatkan kehadiran negara," paparnya.
Diakuinya memang ada konotasi yang terkesan kasar dari kata babu. Tapi memang itulah kenyataannya, hidup jadi begitu kasar dan keras bagi mereka yang jadi babu dan diperlakukan bukan pekerja.
"Saya kira sudah saatnya kita tidak terjebak eufemisme, menghalus-haluskan kata untuk kondisi yang berkebalikan. Menggunakan kata-kata yang sopan untuk menutupi ketidakadilan yang terjadi," katanya.
Selama belum diakui sebagai pekerja formal, menurut dia istilah yang dipakai Fahri Hamzah dalam akun twitternya itu tepat, memang babu alias pembantu.
"Nasib tragis pun bagi babu (maaf bukan bermaksud menghina) terjadi di dalam negeri, klik saja di Mbah Google: "Kekerasan terhadap pembantu". Pasti langsung keluar rentetan cerita tragis. Babu alias pembantu rumah tanggal beda arti dengan pekerja rumah tangga. Kalau pembantu yang bantu-bantu di rumah dalam KBBI ya disebutnya memang babu," kritiknya.
Istilah babu menurutnya tidak bisa disamakan dengan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Dimana PRT harus jelas jenjang pendidikan sebagai pekerja, perjanjian dan kontrak kerja jelas, ada kewajiban sebagai pekerja yang harus dipenuhi pekerja dan ada hak-hak sebagai pekerja yang wajib dipenuhi pemberi kerja, seperti upah, one day off, Jaminan sosial dan sebagainya.
"Barangkali yang di Hong Kong cukup baik nasibnya. Karena sistema hukumnya cukup baik melindungi TKI yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga," imbuhnya.
Namun jauh berbeda dengan yang terjadi di negara lain seperti negara-negara di Timur Tengah dan Malaysia.
"Kita tidak bisa menyalahkan negara penerima TKI, tetapi saatnya kita berjuang bersama memperbaiki sistem hukum yang melindungi TKI. Tidak perlu saling menghujat dan menyalahkan. Kita sama-sama rumuskan yang terbaik, agar negara Penerima TKI pun 'tidak main-main' terhadap pekerja dari Indonesia," tegasnya.
Untuk itu, Rieke mengajak semua pihak berjuang bersama-sama agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera disahkan. Dengan demikian, di dalam negeri pun profesi yang sama mendapat kepastian perlindungan hukum sebagai pekerja, bukan sebagai babu yang tanpa kejelasan status kerja dan hak-hak pekerja.
Kedua, mengesahkan Revisi UU yang mengatur TKI dan harus sejalan dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya yang telah dirativikasi Indonesia.
Kemudian ketiga, ia mendesak perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI dibongkar..
"Tangkap dan adili siapa pun pelaku yang terlibat. Kalau ada pejabat yang terlibat pun harus dicopot dari jabatannya dan mendapat sanksi pidana," tegasnya.
"Saya dukung penuh Presiden Jokowi untuk terwujudnya Tiga poin di atas," tuntasnya. (rmol)