logo
×

Rabu, 02 Agustus 2017

Hilirisasi Industri Mineral Mentah Tersesat Retorika

Hilirisasi Industri Mineral Mentah Tersesat Retorika

NUSANEWS, JAKARTA -  Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengatakan semangat hilirisasi dalam UU Minerba melalui pembangunan smelter tak berjalan sinkron dengan kebijakan pemerintah yang justru memudahkan ekspor mineral logam yang belum diolah smelter. Sehingga tujuan utama yakni agar adanya peningkatan nilai tambah di dalam negeri menjadi bias dan melenceng dari pesan UU Minerba.

Pemerintah saat ini kata Direktur CERI, Yusri Usman; tidak bisa dipercaya, pasalnya lain penyataan lain juga tindakan. Tercermin pada beberapa kesempatan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa era menjual sumber daya alam sudah saatnya dihentikan. Jokowi mengajak pentinginya mengubah paradigma bahwa sumber daya alam termasuk Minerba harus diolah terlebih dulu guna meningkatkan nilai tambah yang berdampak langsung pada rakyat.

“Namun faktanya, sikap Presiden berbanding terbalik dengan kebijakan yang dilakukan pembantunya, khususnya di Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Maka sangat wajar apabila publik bertanya-tanya, apakah ada kesepakatan gelap di antara oknum DPR dan oknum pemerintah sehingga kebijakan obral ekspor mineral mentah terkesan didiamkan kalangan parlemen?” Tanya Yusri, Rabu (2/8).

Dia menilai dengan diterbitkannya PP No 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 5, 6 dan 28 Tahun 2017 telah mengobral mineral logam yang belum diolah di smelter dalam negeri.

“Setali tiga uang, Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) terkait bea tarif ekspor mineral dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Terakhir adalah Permenkeu No 13/PMK.010/2017 tanggal 9 Febuari 2017, yang menghilangkan kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan membangun smelter. Padahal dalam aturan sebelumnya, terdapat syarat proses kemajuan pembangunan smelter yang diberi bobot sebagai dasar penentuan tarif bea keluar,” ujarnya.

“Anehnya, jika bea tarif ekspor ternak saja dikenakan tarif 25%, sementara untuk mineral logam yang belum diolah, hanya dikenakan tarif 7,5 % dan 10%. Seharusnya perlakuan tarifnya berbeda, yang lazimnya untuk mineral logam 25% dan ternak 10%. Bahkan kalau melihat tabel lampiran Permenkeu No 153 Tahun 2014, untuk mineral seharusnya sudah dikenakan bea tarif 50% dan 60% sejak tahun 2016,” tambah dia.

Kemudian jika mencermati rekomendasi ekspor mineral yang telah diterbitkan Ditjen Minerba baru baru ini, menurut Yusri terhadap beberapa perusahaan diduga bermasalah. Antara lain rekomendasi tertanggal 3 Juli 2019 terhadap PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebanyak 2,4 juta metric ton (mtn) bijih bauksit dan PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2,3 juta mtn bijih nikel di bawah kadar Ni 1,7 %. Pemberian rekomendasi tersebut oleh salah satu pejabat Ditjen Minerba diberikan lantaran kedua perusahaan tersebut berkomitmen membangun smelter dengan masing-masing kapasitas 5 juta dan 7 juta ton per tahunnya.

“Pertanyaannya, apa jaminan kedua perusahaan tersebut akan betul-betul membangun smelter? Kalau di kemudian hari, memutuskan batal membangun smelter atas kajian mereka sendiri tetapi sudah terlanjur menikmati hasil keuntungan ekspor mineral, lantas apakah pejabat yang memberikan rekomendasi sudah siap bertanggungjawab secara hukum?” Pungkasnya.  (akt)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: