
NUSANEWS - Persoalan hukum yang dihadapi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah murni persoalan administrasi, bukan pelanggaran pidana, pelanggaran terhadap keamanan negara, pelanggaran HAM, dan pelanggaran hukum lain yang menyebabkan HTI kehilangan hak konstitusi. Hal itu ditegaskan oleh Ketua Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), Chandra Purna Irawan.
Chandra menyatakan HTI belum resmi dibubarkan, jika merujuk pada Keputusan Menteri Hukum Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017. Sebab, keputusan Menkumham adalah mencabut badan hukum HTI, bukan untuk membubarkan HTI.
“Didalam hukum administrasi negara keputusuan (bechsiking) bersifat konkret artinya objek putusan harus definitive, konkrit dan tidak abstrak,” kata Chandra kepada Kiblat.net pada Sabtu (03/03/2018).
“Terkait Keputusan Menteri Hukum Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 bahwa objek putusannya adalah mencabut status pengesahan pendirian badan hukum (BH) dan bukan pembubaran apalagi menjadikan ormas terlarang,” imbuhnya.
Dia juga menilai bahwa seluruh anggota dan simpatisan HTI tetap memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Selain itu mereka juga berhak mendapat perlindungan hukum, jaminan keamanan dan rasa aman, sebagaimana dijamin konstitusi. Menurutnya, satu-satunya hak HTI yang sementara hilang adalah hak sebagai subjek hukum selaku badan hukum perkumpulan Ormas.
“Maka, jika persidangan gugatan Tata Usaha Negara HTI dimenangkan, maka status Badan Hukum Perkumpulan Ormas dan keseluruhan hak yang melekat akan pulih seperti sedia kala,” tegas Chandra.
Oleh sebab itu, dia menghimbau kepada seluruh masyarakat khususnya kepada Pemerintah, untuk tidak menebarkan opini atau melakukan tindakan yang pada pokoknya mengarah pada tindakan yang mendiskriminasi HTI. Selain itu Chandra meminta tak ada upada adu doma HTI dengan komponen anak bangsa dengan dalih HTI telah dibubarkan atau HTI dianggap organisasi terlarang.
SUMBER