logo
×

Rabu, 15 Agustus 2018

Kemiskinan (Seharusnya) Bukan Sekedar Angka, Tapi Memanusiakan Manusia

Kemiskinan (Seharusnya) Bukan Sekedar Angka, Tapi Memanusiakan Manusia

NUSANEWS - Polemik tingkat kemiskinan di Indonesia dinilai cenderung mengarah pada pencitraan pemerintah. Pasalnya, tingkat kemiskinan yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian diperkuat oleh pemerintah standar pengukuran dinilai tidak logis.

Dalam tulisan sebelumnya telah diurai, BPS mengungkapkan angka kemiskinan Indonesia mencapai 9,82 persen dengan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang atau 10 persen dari populasi total jumlah penduduk Indonesia.

Standar yang digunakan BPS untuk mendefinisikan kemiskinan yaitu ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang diukur dari pengeluaran. Angka rata-rata per bulan Maret 2018, garis kemiskinan adalah Rp401.220 per kapita per bulan. Sebagai perbandingan, DKI Jakarta garis kemiskinan berada di Rp593.108 per kapita per bulan, kemudian NTT Rp354.898 per kapita per bulan.

Secara rata-rata, satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,59 anggota rumah tangga. Artinya, apabila masing-masing anggota keluarga memiliki pendapatan Rp401.220 maka total pendapatan Rp1.842.086 per rumah. Sedangkan untuk DKI Jakarta, apabila GK per kapita Rp593.108 maka rata-rata pendapatan di bawah Rp3.081.772. Sebagai perbandingan, GK NTT per keluarga Rp2.121.634.

Komponen Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari; Pertama GK Makanan yang setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2100 kkal per kapita perhari, meliputi Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Kedua, GK Non Makanan yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan (51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan).

“Selama September 2017 – Maret 2018, Garis Kemiskinan naik sebesar 3,63 persen, yaitu dari Rp387,160,- per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 401,220,- per kapita per bulan pada Maret 2018,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam paparannya di Jakarta.

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Pada Maret 2018, komoditi makanan menyumbang sebesar 73,48 persen pada garis kemiskinan. Apabila dilihat lebih dalam, di Perkotaan beras menyokong 20,95 persen lebih rendah daripada di pedesaan 26,79 persen. Satu hal yang menarik adalah penyumbang terbesar kedua adalah rokok kretek filter, di perkotaan menyokong 11,07 persen dan di pedesaan 10,21 persen. Angka ini lebih tinggi daripada telur ayam ras sekitar 4,09 persen untuk kota dan 3,28 persen untuk pedesaan.

Memanusiakan Orang Miskin

Ekonom CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susanto menilai pemerintah berhak bangga terkait penurunan angka kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Namun masyarakat Indonesia saat ini sudah cerdas membaca data pemerintah. Sebaiknya pemerintah atau masyarakat tidak terjebak pada angka-angka dan data Statistik. Sebab ada banyak sudut pendang dalam melihat data pemerintah tersebut.

“Jangan terjebak pada angka-angka dan data statistik. Kemiskinan itu bukan sekedar angka, tapi bagaimana me-manusiakan manusia,” tambahnya.

Menurutnya, patokan terkait angka kemiskin tidak mencerminkan situasi jangka panjang yang pas karena kriteria miskin dari BPS masih sangat longgar. Jumlah penduduk kategori rentan miskin dan hampir miskin masih sangat besar, sekitar 69 juta orang. Jumlah ini jauh lebih besar daripada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk tersebut sangat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan apabila terjadi tekanan ekonomi seperti lonjakan inflasi, terhambatnya bantuan pemerintah, dan lain-lain.

“Hanya dengan pengeluaran sekitar Rp400 ribu per bulan itu bisa dikatakan tidak miskin. Tingkat batasnya sangat rendah, saya yakin tidak ada masyarakat yang bisa belanja di bawah Rp500 ribu per bulan. Jadi garis kemisminan itu sangat rendah dan secara normatif kehidupan manusia sudah sangat tidak layak,” kata dia.

Berdasarkan ketetapan Gubernur DKI Jakarta, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sudah mencapai Rp3,6 juta. Artinya, bagi masyarakat yang masih single, nilai tersebut merupakan nilai terendah untuk bisa bertahan hidup di Jakarta. Namun apabila sudah berkeluarga, bahkan memiliki dua anak, dengan bertumpu pada satu orang, maka pendapatannya bisa dihitung menjadi Rp900 ribu per kapita. Meskipun jauh dari angka standar kemiskinan BPS, namun pendapatan tersebut tergolong pas-pasan dan cenderung kurang.

Tingkat Pengangguran Menurun?

Pemerintah mengklaim, untuk mengurangi penduduk miskin salah satu cara adalah melalui bantuan sosial dan subsidi langsung ke masyarakat. Namun hal tersebut diyakini belum mengatasi akar permasalahan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan yang utama adalah memberdayakan perekonomian masyarakat golongan bawah dengan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, khususnya lapangan kerja di sektor formal yang lebih menjamin kepastian pendapatan dan perlindungan sosial.

“Data terakhir menunjukkan angkatan kerja sektor informal pada Februari 2018 mencapai 74 juta orang, jauh lebih besar dibandingkan jumlah pekerja formal yang sebanyak 53 juta orang,” jelasnya.

Selama periode Februari 2014-Februari 2018, pertumbuhan pekerja informal mencapai 17% sedangkan pekerja formal mencapai turun 3%.  Namun demikian Pemerintah mengklaim bahwa pengangguran menurun hingga 10%. Namun meski angkanya 10% tapi masih dalam jumlah yang besar mencapai 26 juta.

“Jumlah pengangguran 10% dari 260 juta populasi penduduk kita artinya masih diangka 26 juta. Jadi kalau lihat statistik sudah turun tapi kalau secara kemanusiaan itu belum sama sekali mengambarkan sebagai sebuah bangsa yang makmur dan sejahtera,” jelasnya.

Apalagi standar yang digunakan untuk menentukan apakah masyarakat tergolong pengangguran atau bukan sangatlah longgar. Apabila dalam seminggu sudah bekerja satu jam, maka tidak termasuk pengangguran. Di lapangan banyak ditemui program padat karya, waktu kerjanya hanya beberapa jam dengan gaji juga jauh dari cukup.

“Dalam seminggu, apabila sudah sejam bekerja maka dia termasuk bukan pengganguran lagi. Itu standar yang sangat longgar,” jelasnya.

Data menunjukkan, jumlah pengangguran terbuka menurun dari 7,01 juta orang per Februari 2017 menjadi 6,87 juta per Februari 2018, tapi jumlah persentase pekerja penuh waktu juga berkurang dari 68,96% menjadi 68,53%. Sementara itu, persentase jumlah pekerja paruh waktu dan setengah penganggur meningkat dari 30,14% menjadi 31,47%.

Teori Baru: Pertumbuhan Ekonomi Turun, Kemiskinan Juga Turun

BPS mengumumkan angka kemiskinan Indonesia turun menjadi 9,82% yakni sebanyak 25,95 juta Jiwa. Namun, penuruntan tingkat kemiskinan tersebut ternyata tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus.

“Bagaimana mungkin kemiskinan bisa menurun Padahal seluruh indikator makro ekonomi merosot. Jika kemiskinan menurun maka ini adalah anomali yang luar biasa yang tidak terjadi di belahan dunia manapun,” ujar Ekonomi AEPI, Salamuddin Daeng.

Berdasarkan hasil analisa, pertumbuhan ekonomi era Jokowi menurun dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi lima tahun pemerintahan sebelumnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi telah menurun secara konsisten sepanjang era reformasi. Padahal Pertumbuhan ekonomi adalah ukuran umum dari kinerja ekonomi. Pertumbuhan ekonomi didasarkan pada pendekatan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Rumus umum PDB adalah Konsumsi (C) + Investasi (I) + Pengeluaran Pemerintah (G) dikurangi (x/ekspor-i/impor)

“Semua variabel pertumbuhan ekonomi menurun. Konsumsi menurun karena daya beli masyarakat turun. Investasi dari luar dan ekspor melemah ditunjukkan oleh defisit neraca transkasi berjalan (current acount) dan pengeluaran pemerintah melemah yang ditandai defisit APBN yang melebar (fiscal deficit) yang selalu ditutup dengan utang,” tegasnya.

Lalu bagaimana kemiskinan bisa menurun? Sebagaimana diketahui bahwa kemiskinan diukur berdasarkan pengeluaran perkapita. Kalau daya beli melemah, lalu konsumsi melemah, kok bisa pengeluaran perkapita masyarakat meningkat, Apakah ada pembeli barang dan jasa bukan manusia?

“Teori bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah dan terus menurun merupakan cara untuk menurunkan angka kemiskinan. Jika ini benar maka semua buku ilmu ekonomi yang ada di semua kampus harus dimusnahkan,” guyonnya.

Makan Rp20.000/hari Bisa Dapat Apa?

Berdasarkan data dari BPS, garis kemiskinan di DKI Jakarta berada di kisaran Rp593.108 per kapita per bulan. Artinya, apabila di-breakdown untuk kebutuhan sehari-hari, maka per kapita per hari mempunyai dana Rp20.000 per hari. Sedangkan kebutuhan pokok tiap individu yang harus dipenuhi adalah kebutuhan makan. Pada umumnya, penduduk makan tiga kali sehari, namun ada sebagian yang hanya makan dua kali sehari.

Survei secara random di beberapa tempat makan sederhana, baik itu Warteg, Warsun, rumah makan padang, atau warung tenda di pinggir jalan rata-rata mematok harga sekitar Rp15 untuk sekali makan. Salah satu warteg di kawasan Rawa jati misalnya, untuk makan dengan menu nasi, sayur, tempe dan telor dadar dihargai Rp10.000.

“Nasinya saja Rp5.500 mas, kalau pakai telor dadar nambah Rp1.500,” ujar Bude penjual warteg.

Rata-rata sekali makan, pelanggan menghabiskan Rp15.000 dengan menu nasi+sayur+ayam dan minum. Berbeda lagi dengan masakan padang, dengan menu nasi dan telor dadar dan sayur dihargai sekitar Rp10.000, belum termasuk minum teh atau kopi. Sedangkan warung tenda yang biasanya buka di saat malam, menu nasi+telor dadar+tempe dipatok Rp10.000. Sedangkan menu nasi+lele sudah Rp13.000, itu belum termasuk minum.

Melihat harga dan menu di atas, maka dalam sehari bisa menghabiskan duit minimal Rp30.000 untuk tiga kali makan, artinya membutuhkan Rp900.000 untuk sebulan. Lalu, bagaimana jika hanya tersedia duit Rp593.108? untuk makan saja minimal membutuhkan Rp900.000, belum untuk rokok (posisi kedua setelah pangan), transportasi dan komunikasi. Apabila dibagi ke hari, maksimal konsumsi penduduk miskin adalah Rp20.000, itu hanya cukup makan dua kali sehari dengan menu nasi+telor+sayur/tempe. Itu hanya untuk makan, masih manusiakah standar yang ditetapkan?

Lebih Baik Hidup di Penjara?

Beberapa waktu lalu terungkap biaya makan narapidana dalam lapas sehari hanya Rp15.000.  Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pengeluaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).  “Jatah makan Rp 15 ribu untuk tiga kali makan (pagi, siang dan sore) terdiri dari nasi, sayur-sayuran dan sejenisnya,” ujar Direktur Dirjen Pas Kemenkum HAM, Sri Puguh Budiati.

Lalu, apakah penduduk Indonesia harus mendekam di Lapas agar bisa menyesuaikan dengan duit yang tersedia? Apakah penghuni lapas tergolong masyarakat miskin/bukan?

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: