
Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Secara logika politik, salah satu keuntungan patahana (incumbent) dalam setiap pemilu adalah potensi kemenangannya jauh lebih besar dibandingkan dengan penantangnya. Hal ini memungkinkan karena patahana hampir memiliki semua sarana dan prasarana pendukung dalam menjalankan gerakan atau strategi politiknya mempertahankan kekuassaannya. Karena potensi kemenangannya besar itulah, maka partai-partai politik yang cenderung berpikir pragmatis (hanya ingin menikmati kekuasaan) lebih memilih bergabung kepada kubu patahana dalam perebutan kekuasaan.
Namun fakta politiknya di lapangan, koalisi banyak partai dalam pemilu bukan jaminan menang. Bahkan banyak data menunjukkan partai koalisi gemuk takluk dalam pemilu, kalah sama kotak kosong sekalipun. Contoh masih segar dalam ingatan adalah bagaimana koalisi 10 partai (Golkar, Nasdem, PKS, PAN, PPP, PDI-P, Hanura, PBB, Gerindra, dan PKPI) takluk lawan kotak kosong pada Pilwilkot Makassar baru lalu.
Kekalahan koalisi 10 partai di Pilwilkot Makassar ini memberikan ketegasan bahwa kemenangan perebutan kekuasaan dalam pemilu tidak ditentukan oleh banyaknya partai pendukung bergabung mendukung salah satu kandidat. Rakyat sesungguhnya tidak ingin lagi digiring suaranya oleh partai politik. Rakyat jenuh selama pemilu suaranya hanya dipermainkan, diarahkan, dimobilisir, oleh beberapa kelompok kepentingan khususnya partai politik.
Sebagai pemilik tunggal saham demokrasi, rakyat sudah mulai menyadari kalau demokrasi harus benar-benar dimanfaatkan untuk memilih pemimpin yang amanah, dan lebih dari memilih pemimpin yang tegas dapat menjaga NKRI dari serbuan pemilik modal (Kapitalisme) dari luar yang hanya akan menguras kekayaan alam bangsa ini.
Jadi kemenangan KOKO (Kotak Kosong) melawan 10 partai koalisi di Pilwilkot Makassar mengirim sinyal yang sangat kuat kepada 9 partai koalisi (PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI) pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019 nanti. Harus lebih berhati-hati karena rakyat pada Pemilu 2019 sudah menjadi pemilih kalkulatif (Pemilih yang mampu mengkalkulasi untung ruginya mimilih pemimpin) dalam mempertahankan bangsanya dari serbuan dari negara besar yang selalu memandang Indonesia laksana gadis cantik penuh pesona yang bisa diperkosa.
Pada saat yang bersamaan kekalahan 10 partai koalisi di Pilwilkot Makassar memberi sinyal harapan besar kepada kubu pasanngan Prabowo-Sandiaga Uno yang pada saat deklarasi hanya didukungan oleh tiga partai politik (Gerindra, PKS, PAN, dan menyusul Demookrat). Walau hanya didukung tiga atau empat partai politik peluangnya tetap sama dalam memenangkan Pilpres 2019, karena kemenangan tidak ditentukan oleh banyaknya dukungan partai politik, tetapi ditentukan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berkaca dari pemilihan gubernur DKI beberapa waktu lalu, nampak bahwa gerakan moral dan jiwa mampu mengalahkan gerakan finansial yang ditaburkan ke bumi sekalipun. Jadi dalam Pilpres 2019 nanti, siapa Calon Presiden (Capres) yang mampu menggerakkan moral dan jiwa rakyat intulah yang akan menjadi pemanang, karena virus KOKO (kotak kosong) di Pilwilkot Makassar yang menaklukkan koalisi super jumbo10 partai politik bisa menular ke Pilpres 2019. (Salam damai tiada akhir untuk Indonesia jaya).
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Sipil Institut Jakarta
SUMBER