logo
×

Rabu, 14 November 2018

Rasul saja Ditegur Allah karena Abaikan Orang Buta, Pak Kiai

Rasul saja Ditegur Allah karena Abaikan Orang Buta, Pak Kiai

ALKISAH pada suatu masa, orang paling mulia di muka bumi tengah berbincang dengan tokoh-tokoh terkemuka di kaumnya. Perbincangan ini sudah sangat lama dinantikan sehingga ia, Muhammad bin Abdullah, sangat bersemangat dan tak ingin melewatkan begitu saja.

Sebagai seorang Nabi dan Rasul yang bertugas menyampaikan pesan dari langit, ia tentu mempunyai misi yang cukup besar dalam pertemuan itu. Ekspektasinya cukup tinggi, ia ingin meyakinkan para tokoh itu untuk bergabung dan mendukung agama yang baru seumur jagung. Maka tak heran jika ia hanya fokus pada topik pembicaraan dan mengabaikan yang lain.

Tidak berapa lama kemudian, datanglah orang yang tak diinginkan. Ia, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang pemuda yang terlahir dalam kondisi buta. Kekurangan fisik tak membuatnya surut dalam belajar agama. Ia dikenal sebagai sosok yang rajin menanyakan banyak hal kepada Al-Amin.

Seperti yang ia lakukan saat itu, saat dimana sang pembawa misi langit tengah berusaha mencari dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh di suku Quraisy. Tanpa menghiraukan situasi dan kondisi, Abdullah berkata, "Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Tuhan kepadamu. Berilah aku petunjuk."

Sebab kehadirannya yang memang tidak diinginkan, Rasul pun sama sekali tidak menghiraukan. Seraya bermuka masam dan berpaling darinya, Rasul kembali berfokus pada para pembesar yang sedari tadi menantikan penjelasannya soal agama.

Sekilas, apa yang dilakukan Rasulullah cukup masuk di akal. Bukan tanpa alasan ia lebih mementingkan para pembesar Qurasiy. Karena ia tahu betul, jika berhasil meyakinkan para pembesar itu, agama baru yang ia bawa akan mendapat penerimaan luas di wilayah Makkah.

Sementara Abdullah, kehadirannya memang tidak diinginkan saat itu. Selain buta, ia juga seorang yang telah yakin akan pilihannya bersama Islam. Pertanyaan yang dilontarkannya pun mungkin sudah dibahas dalam pertemuan khusus mereka, atau paling tidak bisa disampaikan kembali saat waktunya tepat.

Namun pola pikir kita jauh berbeda dengan ketentuan langit. Tindakan Rasulullah yang mengedepankan para pembesar dari Abdullah disoal. Teguran datang, bahkan saat sang Nabi masih dalam perjalanan pulang, pandangannya mendadak gelap, dan kepalanya terasa berat. Lalu turunlah wahyu berupa Surat Abasa, yang berisi 16 ayat.

Ayat demi ayat yang turun itu memberikan peringatan dan teguran keras dari langit atas apa yang baru saja dilakukan oleh Rasulullah. Ayat itu cukup jelas memutar ulang bagaimana Rasulullah bermuka masam ketika seorang buta datang, lebih mengedepankan para pembesar yang merasa berkecukupan, mengabaikan pertanyaan yang datang diri keinginan kuat untuk mendapat petunjuk dan pengajaran.

Lebih dari itu, pada urutan ke-11 dari ayat itu menggunakan kata-kata yang cukup keras: "Sekali-kali jangan demikian! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan."

Serupa tapi tak sama. Kisah tentang si buta yang diabaikan kembali terulang 14 abad kemudian, di tempat yang jauh di negeri seberang. Pengabaian itu dilakukan oleh seorang kiai besar yang juga calon wakil pemimpin bangsanya. Dengan dalih mengajak lawan politik lebih objektif, ia justru merendahkan martabat kelompok manusia yang memang memiliki kekurangan secara fisik.

Katanya ungkapan itu tak bermaksud merendahkan. Namun buktinya, kelompok yang berkekurangan telah melayangkan sikap keberatan. Apakah Pak Kiai lupa dengan kisah Rasulullah itu? Ah, rasanya mustahil seorang kiai besar melupakan kisah yang banyak tertulis di kitab tafsir.

Pak Kiai bilang ungkapannya tercermin dari ayat Alquran. Ayat yang mana, Pak Kiai? Ada dua ayat yang mencantumkan kata 'buta dan tuli' di Alquran, yaitu ayat ke-18 dan ke-171 dari Surat Al-Baqarah. Hanya saja, kedua ayat tersebut dalam konteks menceritakan kelompok yang enggan menerima petunjuk.

Sementara ungkapan Pak Kiai digunakan untuk perumpamaan kelompok yang tidak mengakui kinerja pemerintah.

Jika ungkapan itu disetarakan dengan konteks 'buta dan tuli' di Alquran, jadi maknanya Pak Kiai sedang menyamakan kinerja Jokowi dengan kebenaran hakiki? Apa pantas? Jika jawabannya iya, tampak jelas Pak Kiai telah melewati batas.

Ketua Majelis Ulama itu bisa dikata sebagai orang paling paham tentang Islam. Memang derajatnya tak setinggi Nabi, tapi tutur katanya sudah cukup menjadi representasi. Cukup bayangkan, jika Nabi saja ditegur sedemikian rupa, lalu apa yang pantas Pak Kiai terima?

SUMBER
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: