
Oleh: Nuim Hidayat*
Saya kemarin ikut dalam diskusi tokoh-tokoh agama di di Hotel Bumi Wiyata, Depok. Saya kaget ternyata dalam diskusi itu pluralisme menjadi program salah satu kementerian.
Orang akan dianggap intoleran, bila menganggap agamanya sendiri benar, yang lain salah. Perumahan eksklusif Muslim, gerakan Indonesia tanpa pacaran dan aksi 212 dianggap intoleran. Tidak sesuai Pancasila yang mendukung pluralisme.
Salah satu narasumber, Ibu Reni, seorang dosen Universitas Indonesia (UI) yang juga staf ahli Menko Kesra, Puan Maharani, mendukung penuh penelitian Setara Institute. Dan ternyata penelitian Setara Institute didukung penuh oleh Mendagri. Salah seorang peserta diskusi menjelaskan bahwa Singkawang hebat dan nomor satu tingkat toleransinya, karena dipimpin oleh etnis cina dan non Islam.
Seorang kyai dari Sawangan, Kiyai Syafii, protes keras kepada Bu Reni, karena sikap terhadap Ahmadiyah di Sawangan, yang dilakukan kaum Muslim disana tanpa kekerasan. Malah berkoordinasi dengan polisi. Kiyai Syafii juga menyarankan agar hasil penelitian itu dicabut. Tapi Bu Reni tidak mau. Sawangan memang pusat Ahmadiyah di Depok.
Kepada Bu Reni dalam kesempatan lain, saya pernah protes padanya. Saya katakan bahwa pluralisme diharamkan MUI. Tapi rupanya Bu Reni nggak peduli MUI. Pluralisme adalah program kementerian.
Dalam forum itu saya juga ingin sampaikan bahwa kenapa parameter intoleransi sekarang bukan ada atau tidaknya kerusuhan atau kekerasan? Tapi ke hal-hal yang menyangkut keyakinan. Kalau banyaknya perumahan-perumahan Muslim dikatakan intoleran, maka perumahan-perumahan Cina di Jakarta Utara juga intoleran. Fitrah manusia ingin berkumpul dengan yang seagama.
Kerjasama peneliti dilakukan pemerintah Jokowi saat ini untuk memojokkan perilaku mayoritas Muslim Indonesia saat ini. Maka tidak salah kalau seruan ganti presiden terus menggema. Wallahu azizun hakim.
*Penulis adalah Wartawan Senior
SUMBER