logo
×

Selasa, 15 September 2020

Pekan Depan, MK Gelar Sidang Gugatan Presidential Threshold Rizal Ramli

Pekan Depan, MK Gelar Sidang Gugatan Presidential Threshold Rizal Ramli

DEMOKRASI.CO.ID - Gugatan terhadap UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan tokoh nasional DR. Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno menemui titik terang.

Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (4/9) ini berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di dalam UU Pemilu.

Pada Senin (14/9), MK telah berkirim surat kepada kuasa hukum Rizal Ramli Dan Abdulrachim Kresno, Refly Harun.

Surat bernomor 588.74/PAN.MK/9/2020 itu berisi perihal panggilan sidang. Di mana Refly Harun diminta untuk datang memenuhi panggilan sidang perdana kasus ini.

Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan itu akan digelar pada Senin depan (21/9). Surat yang diteken Panitera MK, Muhidin itu mewajibkan kepada Refly Harun untuk datang memenuhi undangan.

Namun demikian, lantaran masih meningkatnya pandemi Covid-19, sidang akan digelar secara virtual.

Gugatan ini diajukan lantaran pihak Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno menginginkan adanya pilpres yang lebih berkualitas dan juga fair.

Setidaknya ada dua argumen yang dibawa dalam pengajuan gugatan. Pertama argumentasi yang bersifat konstitusional dan nonkonstitusional.

Dalam argumen konstitusional, Refly Harun mengurai bahwa setelah Pemilu 2019 lalu, ada empat partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk bisa mengusung atau mengajukan calon presidennya, yaitu PSI, Garuda, Berkarya, dan Perindo.

Keempatnya tidak bisa mengusung calon karena tidak punya suara atau kursi di Pemilu 2014. Sementara kondisi serupa juga berpotensi besar terjadi di Pemilu 2024. Padahal partai memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon.

Hal ini lantaran ada aturan mengenai syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.

“Nah, hak konstitusional ini secara teoritis tidak boleh dihilangkan di peraturan di bawahnya, di UU. Ini hak konstitusional hak di atas sudah,” ujarnya.

Sementara terkait argumen nonkonstitusional, Refly menjelaskan bahwa tentang keputusan MK yang pernah menolak uji materi presidential threshold. Refly mengaku tidak bisa menerima argumentari MK yang menyebut memperkuat sistem presidensial.

“Itu kan hipotesis. MK mengatakan bahwa itu legal policy. Nah, kalau kita pakai argumentasi nonkonstitusionalnya, damage-nya luar biasa yang namanya presidential treshold ini, kan. Itu argumenasi nonkonstitusional,” demikian Refly.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: