logo
×

Minggu, 31 Januari 2021

Ketika Batak Bersatu

Ketika Batak Bersatu

OLEH: BATARA R. HUTAGALUNG

SEJAK 20 tahun belakangan, di berbagai media muncul lagi banyak tulisan-tulisan yang menyatakan, bahwa Karo dan Mandailing bukan Batak, melainkan suku-suku sendiri. Ada deklarasi KBB (Karo Bukan Batak) dan MBB (Mandailing bukan Batak).

Di kalangan Mandailing dan Karo sendiri terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah Mandailing dan Karo termasuk suku Batak atau bukan. Tahun 2007, dalam suatu acara diskusi mengenai buku “Tuanku Rao” yang diselenggarakan oleh komunitas Mandailing di Jakarta, saya diundang sebagai salahseorang narasumber.

Narasumber lain adalah Dr. Bismar Siregar, mantan Hakim Agung dan Dr. Adnan Buyung Nasution, pengacara yang sangat terkenal.

Dalam diskusi ini, terdapat perbedaan pendapat antara Buyung Nasution dengan Bismar Siregar. Buyung Nasution mengatakan, bahwa Mandailing bukan Batak, sedangkan Bismar Siregar mengatakan, bahwa Mandailing adalah Batak. Pro-Kontra KBB dan MBB semakin ramai di berbagai media sosial.

Perdebatan mengenai Mandailing bukan Batak muncul pertama kali akhir abad 19, yaitu ketika terjadi Perang Batak II tahun 1878-1907. Pada 18 Februari 1878 Raja Sisingamangaraja XII menyatakan perang terhadap Belanda. DalaM upaya Belanda mengisolir Sisingamangaraja XII, dimunculkan isu, bahwa Mandailing, Karo, dll., bukan Batak, agar mereka tidak mendukung Sisingamangaraja XII.

Sampai akhir abad 19 masih ada beberapa kesultanan dan kerajaan yang belum dikuasai oleh Belanda, a.l. Tanah Batak, Aceh, Badung di Bali dan Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan segala cara, terutama dengan politik “Divide et impera,” Belanda pada awal abad 20 akhirnya berhasil menguasai sebagian besar wilayah di Asia Tenggara.

Kerajaan Batak jatuh ke tangan Belanda dengan tewasnya Sisingamangaraja XII dan satu putri serta dua putranya dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907.

Namun perdebatan mengenai Mandailing bukan Batak berlanjut terus. Puncaknya adalah terjadinya insiden di pekuburan Sungai Mati di Medan pada bulan Agustus 1922. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, para Raja di Mandailing mengadakan pertemuan di Kayu Laut, Mandailing, yang menghasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam pernyataan yang dinamakan Batak Maninggoring. (Saya sendiri tidak mengetahui arti “Batak Maninggoring. Mungkin ada yang dapat menjelaskan artinya. Terima kasih).

Dalam Batak Maninggoring yang ditandatangani oleh 14 Raja dan pemimpin di Mandailing pada 18 Agustus 1922 ditegaskan, bahwa Mandailing adalah Bangsa Batak (Bangso Batak). Belakangan muncul sanggahan terhadap kesepakatan Raja-Raja dan pemimpin Mandailing tersebut, karena masih ada yang tetap bersikeras, bahwa Mandailing bukan Batak.

Perang Sunggal (1872 hingga 1895) dinamakan oleh Belanda sebagai Batak Oorlog (Perang Batak). Perang ini disebut Perang Sunggal karena dimulai di Kedatukan Sunggal, di wilayah Karo. Dengan demikian, Perang Sunggal adalah Perang Batak I.

Penyebabnya adalah karena Belanda ingin menguasai wilayah tersebut. Perlawanan rakyat Karo terhadap Belanda dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti. Belanda kemudian melakukan tipuan yang selalu digunakan, yaitu mengundang Badiuzzaman ke Batavia untuk merundingkan perdamaian. Namun yang terjadi, seperti yang dialami oleh Pangeran Diponegoro di Jawa. Datuk Badiuzzaman Surbakti ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Maka berakhirlah Perang Sunggal.  

Perang Batak II (1878 hingga 1907) berakhir dengan gugurnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 dalam pertempuran melawan Belanda. Kedua Perang Batak berakhir dengan kekalahan di pihak Batak, karena tidak adanya persatuan dan kesatuan dari seluruh rakyat di Tanah Batak. Seandainya waktu itu seluruh rakyat Batak bersatu dan tidak mau diadu-domba, kekuatan Belanda yang tidak besar, tidak mungkin dapat mengalahkan Batak Bersatu.

Tanggal 15 September 1908 di Belanda mendirikan organisasi pemuda pribumi: Indische Vereeniging. Tahun 1922 nama organisasi diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Organisasi ini merupakan embrio gerakan kebangsaan.

Peran ‘Batak Bersatu’ Dalam Membentuk Bangsa dan Mendirikan Negara Indonesia Serta Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Keluarga besar kami tetap meyakini, bahwa di Tanah Batak di Sumatera Utara, wilayahnya dihuni oleh satu etnis/suku, yaitu suku Batak. Pemahaman kami, suku Batak  terdiri dari Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing, Batak Pakpak-Dairi dan Batak Angkola. Di keluarga besar kami ada Marga Hutagalung, Lumban Tobing, Siregar, Harahap  dll. Ada yang beragama Kristen dan ada yang beragama Islam. Kalau ada acara-acara sesuai adat Batak, maka semua bekerjasama, tanpa terlihat adanya perbedaan tata-cara adat. Mereka bersama-sama melaksanakan Dalihan Natolu.

Tahun 1947 hingga 1950, keluarga kami tinggal di Yogyakarta, yang waktu itu adalah Ibukota RI sementara, karena ayah saya berdinas di Kementerian Pertahanan RI. Pada tahun 1948, setelah Hijrah Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, di Yogyakarta ada beberapa tokoh Batak yang memegang jabatan-jabatan tinggi baik di pemerintahan maupun di militer.

Mereka a.l. Amir Syarifuddin Harahap (Perdana Menteri), Kol. Tahi Bonar Simatupang (Wakil Kepala Staf Angkatan Perang), Kol. Abdul Haris Nasution (semula Panglima Siliwangi, kemudian menjadi Panglima Tentara Teritorium Jawa). Letkol. Zulkifli Lubis (Pendiri dan Kepala Badan Rahasia Negara Indonesia), ayah saya Letkol dr. Wiliater Hutagalung (Perwira Teritorial di Kementerian Pertahanan), dr. Djafar Siregar  Diapari (Ketua Palang Merah Indonesia), Dr. Masdulhak Nasution, Sekretaris Wakil Presiden M. Hatta, dan beberapa orang lain. Semua di pihak Republik Indonesia.

Mereka sering mengadakan pertemuan di kediaman dr. Djafar Siregar di Jl. Batanawarsa, Yogyakarta. Mereka berkumpul sebagai sesama putra Batak di perantauan, di mana selain membicarakan masalah-masalah kenegaraan, mereka juga bernostalgia dalam bahasa Batak. Sebagai guyonan, rekan-rekan mereka yang bukan Batak menyebut pertemuan-pertemuan  tersebut sebagai “perkumpulan Batak.” Tidak ada yang keberatan dengan penamaan tersebut, atau yang menyatakan, bahwa dirinya bukan Batak.

Ketika itu saya masih berusia 4 tahun, dan mendengar hal-hal tersebut dari penuturan ayah dan paman-paman saya di kemudian hari. Isterinya dr. Djafar Siregar Diapari adalah adik sepupu dari isteri dr. Wiliater Hutagalung, ibu saya.

Di tahun 1950-an, ketika mereka semua berada di Jakarta, kecuali Amir Syarifuddin Harahap yang dieksekusi pada 20 Desember 1948, mereka sering saling mengunjungi dan berkumpul. Kemudian ditambah lagi dengan dr. Ferdinand Lumban Tobing (Pahlawan Nasional). Isteri dari dr. Ferdinand L. Tobing adalah adik kandung ibu saya. Di masa agresi militer Belanda ke II 19 Desember 1948, dr. FL. Tobing adalah Gubernur Militer RI untuk Sumatera Timur. Mereka semua yang lahir akhir abad 19 atau awal abad 20, mengetahui mengenai adanya pernyataan Batak Maninggoring tersebut di atas.

Tokoh2 pejuang itu sering menuturkan riwayat perjuangan mereka di masa muda, di masa penjajahan Belanda. Tahun 1926, para pemuda Batak, a.l. Amir Syarifuddin Harahap, Sanusi Pane, Ferdinand L. Tobing, dll., yang sedang melanjutkan pendidikan di Batavia (sekarang Jakarta) mendirikan organisasi yang dinamakan Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak). Tujuannya adalah saling membantu di antara sesama orang Batak di perantauan. Tercatat, semua pemuda Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang berada di Batavia menjadi anggota Jong Bataksche Bond.

Masdulhak Nasution lahir di Sibolga. Kakeknya adalah Sutan Abdul Azis Nasution dari Gunung Tua, Mandailing. Setelah lulus Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah menengah di zaman penjajahan, Masdulhak melanjutkan pendidikannya di bidang hukum di Universitas Leiden, Belanda. Dia berangkat ke Belanda pada 4 Oktober 1930. Setelah mendapat gelar Sarjana Hukum, dia melanjutkan ke tingkat doktoral di Utrecht dan lulus tahun 1943.

Mengenai kelulusan Masdulhak Nasution, diberitakan oleh satu media di Belanda, Friesche Courant pada 27 April 1943. Isi beritanya a.l.:

Batakker promoveerde te Utrecht.

Aan de Rijksuniversiteit te Utrecht promoveerde de Batakker Masdoelhak Hamnonangan Nasoetion Gelar Soetan Oloan op proefschrift: “De Plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschapij.” De jonge doctor is de eerste Batakker, di aan de Utrechtsche universiteit promoveerde en de vierde van zijn geslacht, die aan een Nederlandsxhe universiteit studeerde.

Terjemahannya:

Seorang Batak memperoleh gelar Doktor di Utrecht

Di Universitas Utrecht, seorang BATAK Masdoelhak Hamonangan Nasoetion Gelar Soetan Oloan memperoleh gelar doktor dengan tesis: “Kedudukan Perempuan di Masyarakat BATAK”.  Doktor muda ini adalah orang BATAK pertama yang memperoleh gelar doktor dari Universitas Utrecht dan orang keempat dari etnisnya yang kuliah di Universitas Belanda.

Ayah saya dan paman-paman sering menceriterakan, bahwa upaya mengadu-domba untuk memecah-belah suku Batak, telah dilakukan oleh Belanda di masa penjajahan, seperti telah ditulis di atas. Namun Belanda tidak berhasil memecah-belah Batak.

Para pejuang ’45 itu selalu mengingatkan, agar bangsa ini tetap bersatu. Mereka menjelaskan, Belanda suatu negara kecil di Eropa, juga dengan jumlah punduduk kecil, berhasil mengalahkan dan menjajah wilayah yang jauh lebih luas dan jumlah penduduk yang belasan kali lipat dari penduduknya, dengan strategi, taktik, tentara yang kuat, persenjataan moderen (untuk waktu itu), kelicikan dan tipu daya serta adu-domba. Perlu diambil pelajaran dari sejarah, pentingnya persatuan dan kesatuan.

Sekilas Sejarah

Ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara (belum ada Indonesia) dimulai pada abad 16, sangat banyak kerajaan dan kesultanan kecil-kecil di Asia Tenggara. Belanda menyerang dan mengalahkan satu-persatu kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara tersebut, dimulai dengan mengalahkan kota Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tanggal ini merupakan awal penjajahan Belanda di Asia tenggara. Kemudian setelah itu, Belanda menyerang kerajaan-kerajaan lain. Belanda ingin mewujudkan yang dinamakan Pax Nederlandica.

Namun sampai akhir abad 19, beberapa kerajaan dan kesultanan belum dikalahkan oleh Belanda, a.l. kerajaan Batak, Kesultanan Aceh, Kerajaan Badung di Bali dan Kerajaan Klungkung di Bali. Pada 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh. Raja Sisingamangaraja XII pada bulan Februari 1878 menyatakan perang terhadap Belanda. Ini artinya Tanah Rencong dan Tanah Batak masih merdeka, belum dijajah oleh Belanda.

Kesultanan Aceh jatuh tahun 1904. Kerajaan Batak dikalahkan Belanda dengan gugurnya Singamangaraja XII dalam pertempuran pada 17 Juni 1907. Juga gugur dalam pertempuran tersebut, satu putri dan dua putranya. Yang terakhir dikalahkan Belanda adalah kerajaan Klungkung di Bali, pada bulan September 1908.

Dengan demikian terlihat, bahwa Belanda memerlukan waktu hampir 300 tahun, dari tanggal 30 Mei 1619 hingga September 1908, untuk dapat menguasai sebagian besar wilayah di Asia tenggara. Belanda menamakan jajahannya sebagai Nederlands Indië (India Belanda). Fakta ini juga membantah mitos, “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun.”

Kerajaan dan kesultanan tersebut hanya dijajah selama sekitar 30-an tahun saja. Juga dengan demikian Tanah Batak tidak dijajah 350 tahun oleh Belanda.

Dari pemaparan di atas terlihat, Belanda berhasil menguasai wilayah besar di Asia Tenggara, karena belum ada persatuan dan kesatuan di antara kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan pada waktu itu. Bahkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan  tersebut saling memerangi untuk menguasai kerajaan lain di Asia tengara.

Berkat perjuangan panjang dan kegigihan, para pendiri negara dan bangsa Indonesia, termasuk putra-putra Batak yang tergabuing dalam Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak), berhasil mempersatukan berbagai etnis/suku yang ada di Nederlands Indië, jajahan Belanda di Asia Tenggara.

Sebelum Kongres Pemuda Indonesia pertama tahun 1926, seorang pemuda yang sebenarnya sangat berjasa dalam mempersatukan para pemuda pribumi jajahan Belanda, adalah Rajiun Harahap, gelar Sutan Kasayangan Soripada yang lahir di Batu Nadua, Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pada 15 November 1908 di Belanda, Rajiun Harahap, mendirikan organisasi Perhimpunan Indonesia, yang menjadi embrio gerakan kebangsaan.

Nama Rajiun Harahap tidak (belum) ditulis dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Yang pernah menjadi Ketua dari organisasi yang didirikan oleh Rajiun Harahap a.l. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro. Pahlawan Nasional), dr. Sutomo (pendiri Budi Utomo. Pahlawan Nasional), Achmad Subarjo (Pahlawan Nasional.), Iwa Kusuma Sumantri (Pahlawan Nasional), Sukiman Wiryosanjoyo (Tahun 1951 Perdana Menteri RI ke 6), Mohammad Hatta (Wakil Presiden, Pahlawan Proklamasi). Juga yang pernah menjadi anggota pengurus Perhimpunan Indonesia, a.l. Ali Sastroamijoyo (dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri RI).

Di sini dapat dilihat hebatnya organisasi yang didirikan oleh Rajiun Harahap di Belanda tahun 1908.

Puncak perjuangan bersama tersebut adalah pernyataan (proklamasi) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun Belanda tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tersebut. Bahkan sampai sekarang tahun 2021, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Dengan dibantu sekutu-sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu Inggris dan Australia, Belanda melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Berkat bantuan 3 divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Republik Indonesia dan mendirikan negara2 boneka di wilayah yang dikuasai Belanda.

Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi milter ke II terhadap Republik Indonesia yang wilayahnya sudah sangat kecil, yaitu hanya terdiri dari sebagian Jawa dan Sumatera. Belanda mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik berakhir pada 15 Agustus 1945.

Belanda mendatangkan 150.000 tentara dari Belanda, ditambah 65.000 pasukan KNIL yang terdiri dari pribumi dan Indo-Eropa/Belanda serta ditambah 50.000 orang pasukan Bangsa Cina, Pao (Po) An Tui. Pasukan Belanda dipersenjatai dengan persenjataan paling moderen pada waktu itu. Tujuannya adalah pukulan terakhir untuk menghacurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan melenyapkan Republik Indonesia dari peta politik dunia.

Kekuatan TNI di Jawa dan Sumatera hanya sekitar 100.000 orang dengan persenjataan yang direbut dari tentara Jepang.

Sejarah menunjukkan, bahwa dengan kekuatan hampir tiga kali lipat dan dengan persenjataah moderen, tentara Belanda tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia yang didukung penuh oleh rakyat Indonesia.

Sampai dimulainya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, Republik Indonesia dan TNI tetap ada dan tidak punah. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tahun 1945 �" 1949, sangat banyak putra-putra Batak yang ikut berperang dan gugur dalam peperangan. Mereka berjuang bukan hanya di Sumatera Utara, melainkan juga di Pulau Jawa.

Pelajaran dari sejarah yang dapat dipetik adalah, ketika di Tanah Batak belum ada kesatuan dan persatuan, satu persatu wilayahnya dapat dikuasai oleh Belanda. Demikian juga di Asia tenggara, ketika belum ada persatuan dan kesatuan di antara kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan, bahkan masih saling menyerang, mereka dapat satu-persatu dikalahkan oleh Belanda, satu negara dan bangsa yang kecil.

Pentingnya Menjaga Kesatuan dan Persatuan

Namun setelah ada kesatuan dan persatuan di antara pribumi jajahan Belanda, dengan membentuk bangsa dan mendirikan negara Indonesia, dengan kekuatan militer yang sangat besar, Belanda dan sekutunya tidak berhasil mengalahkan negara dan bangsa Indonesia.

Demikian juga dengan masyarakat Batak. Ketika Batak bersatu, tokoh-tokoh Batak ikut memegang peran penting dalam membentuk bangsa dan mendirikan negara Indonesia serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan dan kemudian menguasai Indonesia, juga belajar dari sejarah, yaitu, kalau bangsa Indonesia bersatu, maka bangsa Indonesia tidak terkalahkan. Oleh karena itu, mereka menggunakan metode lama yang ampuh selama ratusan tahun, yaitu “Divide et impera,” memecah-belah kemudian menguasai.

Ini yang terjadi di Indonesia sekarang. Sesama penganut satu agama diadu-domba dan dibenturkan, Antar agama diadu-domba dan dibenturkan. Sesama etnis diadu-domba dan dibenturkan. Antar etnis diadu-domba dan dibenturkan. Apabila mereka berhasil dan Indonesia pecah, maka dengan mudah Indonesia akan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing dan para antek serta kaki-tangannya di Indonesia. Maka berlakulah adagium: “sejarah berulang kembali: Indonesia dijajah.”

Kalau “tempo doeloe” ada perbedaan, maka dengan kearifan para leluhur, dicari titik temunya, dicari kesamaannya, sehingga terciptalah semboyan persatuan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang menghasilkan terbentuknya bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI. Yang terjadi sekarang adalah kebalikannya, dari yang sama atau bersatu, dicari, atau dicari-cari perbedaannya sebagai pembenaran untuk memisahkan diri. Dicari-cari pembenaran dari buku-buku kuno karangan para penjajah atau orang-orang Eropa lain. Banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui, bahwa rekayasa penulisan sejarah sudah dilakukan oleh para penjajah sejak dari zaman kolonialisme. Bahkan mereka mengarang teori migrasi mengenai asal-usul nenek-moyang bangsa Indonesia, yaitu berasal dari Yunnan, Cina Selatan. Teori kuno yang salah ciptaan penjajah ini masih dipercayai oleh banyak orang Indonesia sampai sekarang.

Di Indonesia, suku Batak yang bersatu tercatat sebagai suku terbesar ketiga, setelah suku Jawa dan suku Sunda. Kalau Batak pecah menjadi 5 atau 6 suku, mungkin ada suku yang jumlahnya hanya beberapa ratus ribu saja.

Seandainya kekuatan yang memecah-belah ini berhasil, maka bukan hanya secara etnologis, melainkan secara demografis (peta/statistik kependudukan) harus dilakukan perubahan yang mendasar. Dalam penulisan jumlah suku/etnis di Indonesia menjadi bertambah lima atau enam. Seiring dengan ini, yang semula dikategorikan sebagai suku Batak, maka harus dirinci lagi, jumlah suku Mandailing, Suku Karo, dll.

Penulisan sejarah juga harus diubah. Dalam hal ini yang menyangkut tokoh-tokoh pendiri negara dan bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai orang Batak, terutama para pendiri Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak) juga harus berubah. Para pendirinya yang dikenal selama ini a.l. adalah Amir Syarifuddin Harahap dan Sanusi Pane dari Mandailing. Harus diteliti di Arsip Nasional, siapa-siapa saja yang pernah menjadi anggota Jong Bataksche Bond.

Apakah juga akan ada klaim dari warga Mandailing yang menuntut, bahwa Jong Bataksche Bond itu tidak sah, karena tokoh-tokoh tersebut tidak boleh disebut sebagai orang-orang Batak? Bagaimana dengan Dr. Masdulhak Nasution, yang diberitakan di media di Belanda tahun 1943, sebagai orang Batak Pertama yang mendapat gelar Doktor di Universitas Utrecht? Masih ada satu tokoh dari Tanah Batak, yang diberitakan di Belanda sebagai “een Batakker,” seorang Batak, yaitu Sati Nasution (1840 �" 1876) yang kemudian mengganti namanya menjadi Willem Iskander. Sepulangnya dari Belanda tahun 1861 setelah menempuh pendidikan sebagai guru, tahun 1862 Sati Nasution mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ki Hajar Dewantoro (KHD) yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Indonesia lahir lahir tahun 1889.

KHD mendirikan sekolah Taman Siswa tahun 1922. Hari kelahiran KHD ditetapkan sebagai “Hari Pendidikan Nasional Indonesia.” Kelihatannya nama Sati Nasution (Willem Iskander) tidak tercatat dalah sejarah pendidikan di Indonesia. Faktanya, Sati Nasution telah mendirikan Sekolah Guru, 37 tahun sebelum KHD lahir, dan 60 tahun sebelum Taman Siswa didirikan.

Pendiri Sekolah Guru pertama di jajahan Belanda, Nederlands Indie.

Para pewaris Sati Nasution (Willem Iskander), Rajiun Harahap Gelar Sutan Kasayangan Soripada, Sanusi Pane, Amir Syarifuddin Harahap, Abdul Haris Nasution, Zulkifli Lubis, Masdulhak Nasution, dll., apakah akan mengarang sejarah baru, di mana ditulis bahwa tokoh-tokoh pendiri negara dan bangsa Indonesia tersebut bukan orang-orang Batak?

Sejak masa pergerakan kebangsaan di awal abad 20, yang sangat berperan untuk persatuan dan kesatuan adalah para pemuda, termasuk para pemuda Batak. Oleh karena itu, demi keutuhan Negara dan Bangsa Indonesia, para pemuda harus kembali menjadi pelopor gerakan mempertahankan kesatuan dan persatuan, termasuk persatuan dan kesatuan suku Batak. Para Pemuda Batak harus kembali menjadi pelopor kesatuan dan persatuan, bukan menjadi pelopor perpecahan.

Oleh karena itu, harus diwaspadai upaya adu-domba untuk memecah-belah kesatuan dan persatuan dengan tujuan menguasai Indonesia.

(Penulis adalah sejarawan)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: