![]() |
Anggota Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa |
Menurut dia, polisi tidak dapat menuntut seseorang berdasarkan surat edaran itu.
"Itu kan ibaratnya surat itu panduan bagi kepolisian, jadi bukan hukum. Berarti bukan harus dinormakan. Jadi, kalau polisi menganggap ini sebagai norma, ya polisi pembuat undang-undang, itu gak benar," ujar Desmond saat dihubungi, Jakarta, Senin (2/11/2015).
Desmond mengatakan kepolisian harus menjelaskan perihal SE tersebut. Menurutnya, kalau polisi membuat undang-undang, maka surat edaran ini akan membuat aturan menjadi norma.
"Ini kan sudah gak jelas intitusi kepolisian. Kalau surat edaran itu menjadi pengekangan masyarakat sipil, saya pikir ini sudah melanggar konstitusi kita. Kebebasan ekspresi menjadi lain," tutupnya
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech. Badrodin mengatakan, pada dasarnya SE itu bersifat normatif karena mengacu ke KUHP.
Dengan SE itu Badrodin berharap pimpinan Polri, khususnya di daerah-daerah yang rawan konflik, tidak akan ragu-ragu lagi dalam mengambil tindakan tegas terhadap para penyebar kebencian.
Dalam surat edaran tersebut, penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian dengan mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti hukuman empat tahun penjara bagi siapa saja yang menyatakan permusuhan di depan umum, sesuai Pasal 156 KUHP.
Sementara itu, setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, akan dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta. Hukuman ini diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.(rmn)