
Nusanews.com - Wacana harga rokok di Indonesia yang naik menjadi Rp 50.000 per bungkus meresahkan banyak pihak. Para petani tembakau kemarin bahkan melakukan demonstrasi menolak wacana ini.
Wacana ini bermula dari hasil kajian yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany. Dia mengatakan, harga rokok idealnya lebih dari Rp 50.000 per bungkus. Ini jika ingin menekan jumlah perokok di Tanah Air.
Berdasarkan survei yang dilakukannya pada 1.000 orang dalam periode Desember 2015 sampai Januari tahun ini, 72 persen responden mengatakan akan berhenti merokok jika harga di atas Rp 50.000 per bungkus. Sementara, 76 persen perokok setuju jika harga dan cukai rokok naik.
Hasbullah menambahkan, strategi penaikan harga rokok dalam menurunkan jumlah ahli isap sudah terbukti efektif di beberapa negara. Selain itu, tingginya jumlah perokok juga meningkatkan beban ekonomi dari sisi kesehatan.
Dia melanjutkan, peningkatan harga rokok melalui kenaikan cukai, turut berkontribusi pada penerimaan negara. Lonjakan penerimaan ini, menurutnya, bisa dialokasikan untuk bidang kesehatan.
Sikap pemerintah sejauh ini masih mengkaji lebih lanjut penerapan Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia. Sembari mengkaji FCTC, ada empat arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang perlu dijalankan untuk mengurangi penggunaan tembakau.
"Sebelum konvensi dilakukan maka pertama diminta seluruh jajaran menteri untuk menekan impor tembakau," ungkap Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, di Kantor Presiden, Jakarta Pusat.
Wacana kenaikan harga rokok tak hanya terjadi di Indonesia. Australia bahkan ingin menaikkan harga rokok jadi Rp 500.000 per bungkus.
Australia saat ini menjadi negara dengan harga rokok termahal di dunia. Harga rokok di Negeri Kangguru ini mencapai USD 24,58 atau setara dengan Rp 325.000 per bungkus.
Meski demikian, pemerintah Australia masih berencana menaikkan harga rokoknya menjadi USD 40 atau Rp 530.000 per bungkus pada 2020 mendatang. Rencana kebijakan ini bahkan sudah masuk dalam perubahan pajak atau cukai rokok.
Kelompok anti rokok Australia mendukung penuh rencana ini. Mereka merayakan keputusan pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok hingga 12,5 persen tiap tahun dalam 4 tahun mendatang.
"Ini artinya Australia memiliki rezim cukai tertinggi di dunia," ucap Kepala bagian hukum perusahaan Imperial American Tobacco seperti dilansir dari daily mail, Rabu (24/8).
CEO Cancer Coucil, Prof Sanchia Aranda mengatakan, kenaikan cukai rokok ini akan menyelamatkan puluhan ribu nyawa akibat kangker. Dia menyebut, jika harga rokok naik jadi Rp 500.000 per bungkus maka 400.000 remaja akan berhenti membeli rokok.
Untuk menekan para perokok, Australia tak hanya menaikkan harga, tapi juga menerapkan kemasan polos. Namun demikian, kebijakan Australia ini justru ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan kemasan polos untuk produk rokok yang diberlakukan Australia, membuat Indonesia geram. Pemerintah bereaksi, menggugat kebijakan Australia ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
Sengketa dagang ini tercatat sebagai yang terbesar yang pernah ditangani WTO. Sebab, selain Indonesia, ada Honduras, Republik Dominika, dan Kuba yang menggugat secara langsung kebijakan ini. Sementara 36 Anggota WTO lainnya menjadi pihak ketiga yang turut berkepentingan terhadap gugatan ini.

Dalam pertemuan pertama antara pihak penggugat, tergugat, dan panelis dalam kasus tersebut di kantor WTO di Jenewa, Swiss, Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menegaskan kebijakan kemasan polos produk rokok mencederai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi. Di sisi lain produsen juga memiliki hak menggunakan merek dagangnya secara bebas. Dari penuturannya, gugatan ini untuk menjaga kepentingan nasional. Sebab, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Australia berimplikasi luas pada perdagangan dunia.
"Kebijakan Australia menerapkan kemasan polos produk rokok mendapat perhatian sebagian besar anggota WTO karena isu ini bersifat sensitif dan mempunyai implikasi luas terhadap perdagangan dunia, terlebih dapat berpotensi menghambat ekspor rokok Indonesia yang akan berdampak kepada kehidupan petani tembakau dan industri rokok nasional, imbuh Bachrul melalui siaran pers yang diterima merdeka.com, Minggu (7/6/2015).
Industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Dari ekspor, nilainya pada 2013 mencapai USD 700 juta. Industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan Perlindungan HKI.
Kebijakan Australia mengenai kemasan polos produk rokok bertujuan mengurangi konsumsi rokok dan pembatasan akses rokok bagi anak muda serta perokok pemula. Sesungguhnya, kata dia, tujuan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia.
Namun, kebijakan Australia dianggap merugikan produsen dan dinilai tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang produk mereka. Implikasinya bisa mempengaruhi kompetisi dagang produk rokok.
Menurut Bachrul, jika kebijakan ini dibiarkan dikhawatirkan implikasi lainnya akan semakin luas. Anggota WTO lainnya bisa saja mengeluarkan kebijakan yang sama, berdampak negatif pada perlindungan HKI atas merek dagang produk lainnya, seperti mobil, elektronik, pakaian, sepatu, dan lainnya.
Dia menegaskan, sengketa ini bukan perdebatan atas dampak negatif produk rokok terhadap kesehatan atau justifikasi atas kebebasan penjualan produk yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan. Ditegaskannya, ini merupakan perjuangan atas perlindungan HKI atas merek dagang yang dimiliki dunia usaha.
Seharusnya sengketa ini dapat memberikan legitimasi untuk melindungi kesehatan konsumen tanpa menghilangkan perlindungan atas hak kekayaan intelektual dari produk yang dipasarkan, ucapnya.
Tak hanya Australia, Singapura juga berencana menerapkan kebijakan rokok kemasan polos. Namun sekali lagi, rencana kebijakan ini ditentang Indonesia.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan RI, Nus Nuzulia Ishak mulai bereaksi mengantisipasi rencana Singapura menerapkan kebijakan kemasan polos produk rokok (plain packaging). Kebijakan serupa telah dilakukan pemerintah Australia yang kini masih disengketakan Indonesia di organisasi perdagangan dunia (WTO).
"Indonesia adalah pengekspor terbesar ke-2 produk rokok ke Singapura. Apabila kebijakan kemasan polos ini diterapkan Pemerintah Singapura, maka diperkirakan akan berdampak pada penurunan ekspor kita ke Singapura," tegas Nus di Jakarta dalam keterangannya kepada merdeka.com di Jakarta, Kamis (25/6).
Ekspor produk tembakau Indonesia ke Singapura pada 2014 mencapai USD 139,99 juta, menurun 9,66 persen dibanding periode sebelumnya yang mencapai nilai USD 154,96 juta. Pengekspor terbesar rokok (HS 4 digit 2402) ke Singapura masih diduduki China dengan share sebesar 20,39 persen. Jika kebijakan baru ini diberlakukan, ekspor produk rokok dan produk tembakau diperkirakan makin merosot.
Pada 12 Maret 2015 lalu, Pemerintah Singapura melalui Kementerian Kesehatan Singapura telah mengungkapkan rencana kebijakan standardisasi kemasan rokok maupun produk tembakau lainnya pada acara public hearing dengan Health Committee di parlemen.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Parlemen untuk Kesehatan Singapura, Muhammad Faishal Ibrahim menyampaikan beberapa program terkait langkah-langkah pengendalian tembakau. Salah satunya yaitu Announcement: Public Consultation on Standardized Packaging yang menerangkan Singapura akan menerapkan kebijakan kemasan polos.
Nus menjelaskan, Singapura berencana mengadakan konsultasi publik pada akhir 2015 dan terbuka bagi para stakeholders yang berkepentingan. Ini dilakukan Pemerintah Singapura untuk mendapatkan pandangan atau masukan dari berbagai pihak.
"Ini kesempatan bagi kita, pemerintah, dan produsen rokok dan produk tembakau di Indonesia, untuk menyampaikan pandangan dan masukan sebelum kebijakan itu diberlakukan Singapura dengan disertai argumentasi yang kuat," ujar Nus.
Kebijakan kemasan polos mewajibkan produk rokok yang dijual harus dalam kotak kemasan seragam dengan warna tertentu dan menampilkan peringatan ancaman kesehatan pada kemasan rokok. Selain itu, nama produk juga ditampilkan dengan jenis huruf yang telah ditentukan tanpa logo perusahaan dan merek dagang.
Saat bersengketa di WTO dengan Australia, Pemerintah berargumen bahwa penghilangan merek dagang tak ada hubungannya dengan masalah kesehatan. Untuk itu, penerapan kemasan polos produk rokok tidak relevan. Selain Singapura, kebijakan yang telah diberlakukan Pemerintah.
Australia tampaknya akan diikuti beberapa negara lainnya, seperti Selandia Baru, Irlandia, dan Inggris. (mdk)