![]() |
Demo buruh tolak PP Pengupahan diwarnai kericuhan (Foto: rappler) |
“Lima juta orang buruh akan ikut mogok nasional pada 18-20 November 2015,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal di Jakarta, Ahad (1/11). Mogok nasional, tambahnya, akan dilakukan dengan menghentikan proses produksi di seluruh kawasan industri dan di Bursa Efek Indonesia.
Selain itu, lanjutnya, kini orang miskin semakin bertambah, angka pengangguran meningkat, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, jaminan pensiun yang basa-basi hanya dapat Rp 300 ribu/bulan, petani semakin miskin dan kehilangan tanahnya meningkat, kebakaran asap yang berlarut-larut tanpa dinyatakan sebagai bencana nasional hanya karena takut investasi asing perkebunan sawit akan kabur, padahal puluhan ribu orang terkena dampaknya, yaitu menurunnya pendapatan buruh kebun dan banyak buruh tidak masuk kerja karena pabrik meliburkan akibat bencana asap. “Apakah ini yang disebut pemerintahan prorakyat? Menurut buruh, Jokowi-JK adalah penganut kapitalisme dan liberalis yang berkedok pro-rakyat dengan retorika revolusi mental dan Nawacita serta blusukan yang penuh pencitraan. Ini semakin diperparah dengan APBN 2016 yang tidak prorakyat dengan memberi subsidi PMN ke BUMN dan RUU Pengampunan Pajak bagi pengusaha? Anehnya, buruh malah dikasih upah murah,” katanya.
Menurut Iqbal, puncak dari liberalisasi kebijakan Joko-JK adalah negara mengendalikan kenaikan upah tanpa melibatkan negosiasi dengan serikat buruh atas nama penyelamatan ekonomi dan pernyataan bohong Sofyan Wanandi dan Apindo, yang menyebut 300-600 ribu buruh terkena pemutusan hubungan kerja. Padahal, yang benar 40 ribuan dan yang berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja sudah bekerja kembali sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.
Apalagi, tambahnya, rupiah juga mulai membaik dan ada 16 perusahaan tekstil dan padat karya akan beroperasi dengan menyerap 121 ribu pekerja baru, sebelum ada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Walaupun dibilang ekonomi melambat, katanya masih tumbuh 4,6% dan itu artinya masih ada penyerapan lapangan kerja baru 1 juta orang. “Jadi, kenapa harus buruh yang dikorbankan dengan kembali ke rezim upah murah. Pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih kejam dan lebih buruk dibanding Orde Baru dan pemerintahan SBY,” ungkap Iqbal.
Buruh pun akan terus melakukan aksi besar-besaran dengan tuntutan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan; menolak formula kenaikan upah minimum, yakni inflasi+PDB; menuntut kenaikan upah minimum 2016 yang berkisar Rp 500 ribuan (kenaikan 25%), dan; memberlakukan upah minimum sektoral di seluruh kabupaten/kota dan provinsi dengan besaran kenaikan sebesar 10-25% dari UMP/UMK 2016. Karena, yang dibutuhkan bukan hanya kepastian kenaikan upah, tapi kesejahteraan upah layak dengan negosiasi tripartit di dewan pengupahan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003. ”Buruh tidak takut dan akan terus melanjutkan aksinya walaupun menghadapi kebrutalan dan kekerasan polisi, sampai Presiden Jokowi mencabut PP Nomor 78/2015 dan duduk bersama tripartit merumuskan kembali kebijakan upah. Apakah harus menunggu dulu ada buruh yang meninggal akibat kekerasan polisi atau dipenjara baru Presiden Jokowi mencabut PP tersebut? Semoga Presiden Jokowi lebih bijak mau mendengar ratusan juta suara buruh dan keluarganya yang juga rakyatnya, bukan seperti musuhnya yang dipukul dan dipenjara,” tutur Said Iqbal.(pn)