logo
×

Kamis, 10 Maret 2022

Ungkap Kejanggalan Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret, Batara Richard Hutagalung: Soekarno dan Hatta Tidak Punya Peran

Ungkap Kejanggalan Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret, Batara Richard Hutagalung: Soekarno dan Hatta Tidak Punya Peran

DEMOKRASI.CO.ID - Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai kontroversi karena menghilangkan peran Soeharto dalam sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 disebutkan bahwa peristiwa Serangan Umum I Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya.

Pernyataan itu ditentang oleh sejarawan Batara Richard Hutagalung yang juga putra dari pelaku sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, Letkol Wiliater Hutagalung.

Batara menyebut Soekarno dan Hatta tidak punya peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebab, kedua pendiri bangsa itu sedang ditahan Belanda di Bangka, sehingga tidak punya akses.

Keppres Nomor 2 Tahun 2022 didasarkan pada naskah akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memuat 138 halaman.

Pada Bab I disebutkan bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah peristiwa yang sangat penting maknanya bagi eksistensi dan penegakan kedaulatan negara, yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Keberhasilan para founding fathers di bawah kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Syafruddin Prawiranegara, dan tokoh-tokoh penting lainnya, berhasil mengajak seluruh komponen bangsa, dari TNI, Kepolisian, laskar, ulama, santri hingga rakyat biasa telah bahu membahu merebut kembali Ibu kota negara yang telah dikuasai oleh penjajah.

Pada bab pendahuluan ini, nama Soeharto sama sekali tidak disebutkan. Padahal, Soeharto adalah Komandan Wehrkreise atau komandan di daerah pertahanan yang meliputi Yogyakarta.

Tak hanya itu, pada bab pendahuluan juga terdapat pernyataan yang kurang logis.

Disebutkan, Soerkarno dan Hatta menyelenggarakan sidang kabinet untuk menyusun berbagai skenario untuk menyelamatkan Indonesia, yang dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1948. Keputusan sidang kabinet tersebut adalah:

a. Mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat yang akan dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran;

b. Menunjuk Menteri Luar Negeri, A.A. Maramis, dan pejabat Konsulat Indonesia di India Dr. Soedarsono dan A.M. Palar, untuk membentuk pemerintahan darurat di luar negeri (New Delhi India), jika PDRI gagal dilaksanakan;

c. Memerintahkan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menangani dan mengatasi masalah keamanan dan ketertiban di Ibu kota negara jika Presiden dan Wakil Presiden ditangkap Belanda. Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga diperintahkan untuk memantau perkembangan politik di dalam dan di luar negeritentang nasib Indonesia, dan melaporkannya kepada Presiden. Hal ini dilakukan pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengunjungi Soekarno di tempat pengasingannya di Menumbing, Bangka;

d. Presiden, wakil presiden, beserta para menteri memutuskan untuk bertahan di ibu kota negara dan melanjutkan perjuangan secara diplomatik;

e. Memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk melakukan siasat perang gerilya.

Pada bagian C terdapat kalimat yang tidak logis. Di situ disebutkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengunjungi Soekarno di tempat pengasingannya di Menumbing, Bangka.

Padahal, sesuai fakta sejarah, tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer II ke Yogyakarta. Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem, dan AG Pringgodigdo.

Hatta diterbangkan ke Bangka pada 22 Desember 1948, sedangkan Soekarno dan Agus Salim diterbangkan ke Sumatera.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada Februari 1949, Soekarno diterbangkan dari Sumatera ke Bangka. Ia ditahan di Bangka bersama Hatta di lokasi berbeda.

Hatta ditahan berada sebuah wisa di atas Bukit Menumbimng, sedangkan Soekarno ditawan di Kota Muntok.

Di mana Soekarno dan Hatta melakukan rapat kabinet pada 19 Desember 1948? Kok bisa Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengunjungi tempat pengasingan Soekarno sebelum ditahan Belanda?

Dua pertanyaan tersebut tidak terjawab dalam naskah akademik Serangan Umum 1 Maret 1949.

Penyusun Naskah AkademikMenko Polhukam Mahfud MD membantah peran Soeharto dihilangkan dalam sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Mahfud mengatakan ama Soeharto tertuang dalam naskah akademik yang disusun untuk membuat Keppres Nomor 2 Tahun 2022.

Ia mengakui hanya tokoh-tokoh yang berperan sebagai penggagas dan penggerak Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dimasukkan dalam bagian konsiderans Keppres Nomor 2 Tahun 2022.

“Ini adalah penentuan hari krusial dan hanya menyebut yang paling atas sebagai penggagas dan penggerak tanpa menghilangkan peran Soeharto sama sekali,” kata Mahfud dalam keterangan video, Kamis (3/3/2022).

Mahfud menyatakan kajian akademis Serangan Umum 1 Maret 1949 telah diseminarkan bebera kali dengan melibatkan sejarahwan.

Dalam dokumen naskah akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 disebutkan para pakar dan sejarahwan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Para pakar itu antara lain: Dr. Sri Margana, M.Phil (UGM); Julianto Ibrahim, M.Hum (UGM); Prof. Dr. Nina Herlina Lubis (UNPAD); Prof. Dr. Gusti Asnan, M.A. (UNAND); Dr. Suryadi Mapangara, M.Hum (UNHAS); Dr.Abdul Syukur, M.A. (UNJ); Dr. Hilmar Farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat); Prof. Dr. Mahfud MD (Menkopolhukam); Prof. Dr. Dadan Wildan (Staf Ahli Sekneg). (pojok)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: